Jumat, 30 Desember 2011

Menantikan Hybrid Culture Kaum Muda NU

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi masyarakat di Indonesia mempunyai massa yang terbanyak di Indonesia-mungkin juga di dunia. Kehadirannya sangat unik dan dinamis, sehingga seringkali ia dijadikan obyek penelitian atau kajian para pengamat sosial, politik, agamawan, baik dari luar negeri ataupun dari dalam.

Martin Van Bruinessen dengan bukunya NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarain Wacana Baru (LKiS.1994), Chirul Anam, Perkembangan dan pertumbuhan NU (1985), M. Haidar Ali dengan disertasinya, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqh DalamPolitik (1991), Kacung Marijan, Qou Vadis NU setelah Kembali Ke Khittah (1992), Mochtar Naim dengan tesisnya, The Nahdlatul Ulama as a Political Party, 1952-1955, an enquiry into the origins of its electoral succes (1960) Andree Feillard dengan disertasinya Islam et Armèe Dans L’indonésie Contemporaine Les Pionniers de la Tradition yang kemduian di terjemahkan oleh Lesmana kedalam bahasa Indonesia, NU Vis-a-Vis Negara, Pencarian Isi,Bentuk dan Makna (1999) dan beberapa buku-buku lainnya serta artikel-artikel yang tersebar hampir diseluruh media massa di tanah air, seperti Kompas, Surya, Kedaulatan Rakyat, Duta Masyarakat, Prisma, Aula dan lain-lain. Ada banyak keunikan dalam diri NU, sehingga ia menjadi perbincangan yang sangat menarik dikalang cendekiawan. 

Salah satunya adalah [pertama] bagaimana bisa NU tidak di didesain dan diorganisasi secara canggih bisamemliki massa terbanyak dan bisa eksis sampai sekarang. Kedua, adanya perkambangan menarik yang terjadi dalam diri NU, mulai sejak lahirnya sampai sekarang baik itu bersangkut paut dengan politik, ekonomi maupun agama.Ketiga, meskipun NU memiliki massa terbanyak namun sangat jarang ia memegang kendali dalam pentas nasional. Ada apa sebenarnya dengan NU. Hanya pada masa era reformasi, tokoh kontroversial NU tampil mejadi orang nomor satu di Indonesia, presiden. Dan beberapa keunikan NU lainnya. NU seringkali dinobatkan sebagai organisasi tradisional, konservatif dan ortodoks, karena masih berpegang kuat pada tradisi lokal dan masih mendasarkan paham keagamaannya pada salah satu empat Mazhab yaitu Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali pada bidang fiqh, dan menganut paham ahlussunnah wal-jama’ah (aswaja) yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi pada bidang aqidah (teologi) dan mengikuti aliran Imam Junaidi al-Bagdadi, Imam Ghazali dalam tasawuf (mistisisme). Anggapan semacam itu tidak selamanya benar dan juga tidak mesti salah.Secara normatif, NU memang tidak jauh berbeda dengan anggapan-anggapan diatas. Sebab NU dilahirkan oleh seorang Kiai atau ulama-ulama pesantren yang nota benenya bertempat tinggal dipedasaan dan cenderung tidak berpendidikan. Barangkali Kyai Hasyim Asy’ari dan pendiri-pendiri NU lainnya tidak pernah menyangka bahwa sebuah organisasi yang kemunculannya disebabkan fenomena internasional dan nasional ini bisa eksis sampai sekarang dan mempunyai massa terbesar. Namun kalau melihat perkembangan NU saat ini, khususnya kaum muda NU, seketika terheran-heran. Betapa NU yang dikenal sebagai organisasi tradisional, ternyata mengalami perkembangan yang sangat pesat. Geliat intelektual kaum muda NU cukup menjanjikan bagi NU kedepan. Dari aspek pemikiran barangkali tidak terlalu berlebihan kalau disebut liberal.

Pemikiran-pemikiran ulama-ulama muda NU sekarang berbeda -bahkan seringkali bertentangan–dengan tradisi NU masa lalu. Buku Kultur Hibrida, Anak Muda NU dijalur Kultural (LkiS.1999) memotret biogarafi dan pemikiran sembilan anak muda NU. Mencermati kesembilan anak muda NU yang tercover dalam buku, seakan-akan NU mengalami suatu genre yang disebut kultur Hibrida. Belum lagi anak-anak NU yang tergabung dalam LKiS di Yogyakarta seperi Jadul Maula, di ELSAD Surabaya seperti Anom Suryaputra, PMII, IPNU, IPPNU, KMNU di Mesir, P3M, Lakpesdam, bahkan juga di Jaringan Islam Liberal seperti Ulil Absar Abdallah yang beberapa bulan yang lalu tulisannya di Kompas (Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam), menjadi polemik dan pro-kontra diantara para agamawan dan mendapat fatwa mati. Dan beberapa organisasi atau peguyuban lainnya.

Kultur hibrid ini tidak hanya merujuk pada satu khazanah trasional keagamaan, tetapi bersifat elektik yang berasal dari beragam sumber. Ulama-Ulama muda NU tidak lagi berkutat pada tradisi islam klasik dan menekuni pelajaran-pelajaran pesantren, tetapi sudah mulai berani dan semakin gandrung akan pemikiran-pemikiran baru, mempelajari filsafat, bahasa bahkan seringkali tanpa rasa takut menolak pemikiran-pemikiran dan tradisi-tradisi para pendahulunya. Rujukan anak muda NU tidak hanya kitab kuning yang ditulis oleh ulama pada beberapa abad yang lalu, tetapi juga pemikiran-pemikiran kontemporer seperti M. Arkoun, Abed Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Syahrur, Hasan Hanafi, Karl Marx, Karl. Popper, Fatima Mernissi dan lain sebagainya.

Maenstrem pemikiran yang berkembang dikalangan muda NU berbeda dengan para kiai-kiai salaf. Karena itu, liberalisme pemikiran anak muda NU seringkali dituding kafir dan menyalahi tradisi NU oleh orang-orang tua NU. Perbedaan paham keagamaan antara ulama muda NU dengan ulama tua NU adalah wajar. Karena disamping referensi bacaanya sudah berbeda, juga cara menangkap realitas obyektif. Tepatnya perbedaan pemahaman ini sebagai konsekwensi dari berbedanya struktur berfikir antara yang tua dan muda di kalangan NU. Kalangan muda NU tidak hanya berfikir tentang fiqh, tasawuf. Lebih dari itu, diskusi-diskusi dikalangan muda NU (khususnya dikalangan PMII) -sebagaimana diakui oleh Martin van Bruinessen (1994)–akhir-akhir lebih menjurus pada keterbelakangan Dunia Ketiga, keadilan Ekonomi dan sosial, advokasi buruh dan petani, emansipasi wanita.
Gerakan-gerakan anak muda NU ini lebih diarahkan pada kesejahteraan sosial (mashlahat al-’ammah). Hadirnya anak muda NU yang cemerlang -menurut Hairus Salim HS & Muhammad Ridwan ada empat–ini didorong oleh beberapa hal. Pertama, akses pendidikan yang tinggi. Andree Feillard dalam salah satu penlitiannya yang dilakukan tahun 90-an menunjukkan -sebagai contoh-Gerakan Pemuda Ansor sebagai besar pernah mengikuti sekolah umum. Mereka pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi: 40 % di perguruan tinggi Islam (IAIN) dan 54 % di perguruan tinggi umum. Sisanya dalah mereka yang pernah kuliah di kedua macam perguruan tinggi. Beberapa diantara mereka pada umumnya belajar di madrasah, kemudian melanjutkan kesekolah umum.( Andree Feillard.1999, hlm 364).

Dengan semakin tinggi persentuhannya dengan dunia pendidikan, semakintinggi pula khazanah keilmuan yang dimiliki. Kedua, kekayaan tradisi intelektual. Disamping anak muda NU paham tentang khazanah islam klasik yang didapat dipondok-pondok pesantren, juga mendalami ilmu-ilmu diluar itu. Dengan tidak tercerabut dari akar tradisinya, mereka sangat intens melakukan kritik kemasyarakatan dan mengawinkan kosa pengentahuan baru dengan khazanah tradisis mereka. Ketiga, pengaruh Gus Dur, Masdar F. Mas’udi. Gus Dur dengan gagasan pribumisasi islam-nya, tidak saja menghentakkan kalangan tua untuk melakukan kritik, tetapi juga anak muda NU untuk menganalisis. Meskipun Gus Dur sering dihakimi oleh kiai-kian tua pesantren karena pemikiran kontroversialnya, namun memberikan kontribusi besar bagi perkembangan khazanah NU selanjutnya. Keempat, marginalisasi ekonomi-politik. Perlu di ketahui bahwa dalam sejarahnya NU seringkali -untuk tidak mengatakan senantiasa-dimarginalkan oleh suartu rezim. Orde Baru yang palinmg getol menempatkan NU secara periferal. Tidak jarang sikap oposisi NU dengan pemerintah menyebabkan NU melahirkan subordinasi dan diskriminasi terhadap NU. Kenyataan sejarah inilah yang barangkali menjadi cambuk kalangan muda untuk bangkit dengan seperangkat pengetahuan yang dimilikinya.(Hairus Salim[ed] 1999 hlm 9-13)

Kelima, semakin luasnya askes pengetahuan sebagai akibat dari tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan oleh era reformasi. Perubahan ini baik secara langsung atau tidak mempunyai dampak bagi perkembangan intelelektual Indonesia umumnya, dan kalangan muda NU pada khususnya. Keenam, berkat kemajuan teknologi seperti internet, telepon, komputer dan lain,lain, arus transformasi dan informasi sangat deras dalam mana sistem identitas antar bangsa tidak lagi dijembatani oleh simbul-simbul georafis, etnik, lokalitas, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan akan cepat diakses diseluruh dunia. Karena itulah, label NU yang konservatif barangkali kurang tepat manakala mencermati perkembangan NU akhir-akhir ini, khususnya anak muda NU.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana kultur hibrida (hybrid culture) ulama muda NU ini bisa mewarnai dan menjadi bagi dari NU itu sendiri, tidak terpisahkan. Meskipun mereka terkadang menyimpang dari tradisi NU-nya, mereka harus diakui dan diakomodir oleh NU dengan segala konsekwensinya. Kalau mereka ditolak oleh NU, maka anak-anak muda NU itu akan lepas. Akantetapi, kalau mereka di terima oleh NU, maka spektrum NU akan semakin luas dan sangat menarik (AS. Hikam dalam Hairus (ed), hlm 261). Pekrmbangan anak muda NU ini harus diperhatikan secara khusus, sebab disamping mereka mempunyai khazanah yang sangat luas juga mereka sangat rentan untuk keluar
 
Akan tetapi, hal yang patut disayangkan adalah tidak terorganisirnya kalangan muda NU secara baik dan rapi. Anak-anak muda NU banyak bertebaran dan terpencar-pencar di beberapa organisasi, LSM yang kadangkala tidak mempunyai afiliasi sama sekali dengan NU, kalau tidak bermusuhan. NU seakandari tradisi NU-nya. Cukup banyak anak muda NU yang tidak lagi mempunyai sense of belonging pada NU, karena mereka tidak diperhatikan oleh NU. Padatitik inilah NU harus cerdas dalam mengakomodir segala kemampuan anak mudanya.

tak cukup menjadi wadah untuk menampung banyaknya potensi anak muda atau memang mereka tidak mempunyai perhatian khusus, sehingga tidak mau bergabung ddengan NU.
Terpencar-pencarnya kalangan muda NU ini sebenarnya mempunyai disamping dampak negatif, juga dampak positif. Sisi positifnya adalah fleksibelitas (kalangan) NU, sehingga ia bisa masuk dalam organisasi-organisasi manapun. Namun, tentu sisi negatifnya lebih banyak. Setidak-tidaknya ada beberapa sisi negatif. Pertama, tidak tertampungnya kemampuan anak-anak muda NU dalam diri NU, sehingga NU akan tetap nampak semula, statis.

Kedua, sebagai regenerasi NU, anak mudalah yang akan melanjutkan dan menggantikan generasi tua (sesepuh) NU. Anak muda NU akan menjadi benteng bagi perkembangan NU selanjutnya. Ketika waktu mereka dihabiskan diluar NU, maka stagnasi NU -kalau tidak kehancurannya– ditunggu dalam hitungan hari dan tahun. Ketiga, yang berkembang pesat justru organisasi-organisasi selain NU. Keempat, sebagai anak muda yang mempunyai tradisi berbeda akan menjadi persoalan bagi kalangan tua, begitu pula sebaliknya. Anak muda mengganggap sesepuh NU tidak pandai, sudah waktunya memikirkan mati dengan memperbanyak dzikir kepada Allah. Sementara, kalangan tua akan mengganggap anak muda masih belum cukup umur, atau –lebih halusnya-kapabilitas yang dimilikinya masih kurang mumpuni.

Jika hal ini yang terjadi maka serang-menyerang antara kelompok tua dan muda tidak akan bisa dihindari. Untuk menyikapi dan menghindari “pertengkaran” diantara keduanya adalah sikap arif. Orang tua harus bisa memberikan ruang kreativitas bagi anak mudanya dan tidak mengganggap remeh terhadapnya. Sementara anak muda NU juga harus arif dalam memandang orang tua. seseorang hidup dalam zamannya. Sikap arif dalam menengahi antara keduanya sangat diperlukan untuk menghindari adanya clash baik pada tataran ide maupun pada tingkat praksis. Contoh yang sangat konkrit adalah pertengkaran antara kalangan tua dan muda di bahtsul masa’il. Tidak jarang orang tua mengganggap kafir bagi kalangan muda -atau lainnya-ketika anak-anak muda tidak lagi berpegang pada aturan fiqh dan menjadikan ushul fiqh atau disiplin ilmu lainnya sebagai pijakan, sementara kalangan tua masih berpegang kuat pada tradisi fiqhnya. Adu argumentasi dan klaim kebenaran tak terelakkan lagi, Ironisnya, tidak jarang perdebatan dalam forum berlanjut diluar forum bahkan pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.

Penulis pernah mengamati langsung tradisi bahstul masa’il di Situbondo yang tidak mencerminkan sikap kedewasaan dan keterbukaan dalam berbahstul masail ‘Ala kulli hal, perkembangan NU kedepan akan semakin menarik manakala bisa mengakomodir kalangan mudanya, tanpa mengesampingkan orang-orang tua NU. Sepatutnya orang tua NU menjadi penasehat dan sang pemberi mau’idah kepada kalangan mudanya. Sementara anak muda harus bisa menerima secara kritis dan rasional terhadap saran orang tua. Tepatnya, perlunya pembagian ruang secara proporsional dan profesional. Misalnya para kiai-kiai yang tidak memiliki sense politik, seyognyanya tidak ikut campur dalam hal politik. Ssalah satu penyebab kekalangan NU dan pentas politik adalah menempatkan orang-orang yang a-politis pada salah satu jabatan yang sangat berbau politik, seperti PKB. Sebab logika politik sama sekali berbeda dengan logika yang dipakai didalam -misalnya-fiqh atau ilmu agama. Disinilah penulis perlu mengucapkan terima kasih, karena ternyata NU sudah mulai memperhatikan anak mudanya dan bisa menempatkan orang-orangnya padatempat yang semenstinya, walaupun masih belum maksimal.

Mereformulasi Gerakan IPNU sebagai Organisasi Kader Berbasis Keilmuan


Oleh : Abah KH. Hasyim Muzadi

Pertama kali yang terpenting, IPNU harus kembali pada habitat, fitrah dan identitasnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang keilmuan, pengabdian dan latihan kepemimpinan untuk masa depan. Inilah habitat IPNU yang sesungguhnya. Dan, keputusan Kongres XIV IPNU di Surabaya untuk mengembalikan IPNU sebagai organisasi pelajar adalah keputusan yang tepat. Oleh karenanya harus dibangun komitmen untuk menjadikan IPNU sebagai penunjang prestasi ilmiah. Sebaliknya, jangan beralasan karena menjadi aktivis IPNU, belajar sebagai tugas anak muda justru terkesampingkan. IPNU semestinya menjadi lambang prestasi keilmuan. Untuk itu tugas kita saat ini adalah bagaimana membuat IPNU untuk menjadi komunitas belajar (learning community) yang menunjang bagi proses pengembangan keilmuan. Karena itulah IPNU harus menyediakan perangkat dan sektor keilmuan.
Pengembangan-pengembangan IPNU tidak cukup hanya dengan mengunakan isu-isu ideologis. Jika tema-tema ideologis yang dikedepankan, maka IPNU hanya akan terbatas pada anak-anak NU dan semakin hari semakin menyempit. Hal ini karena tidak semua anak-anak orang NU masuk IPNU, mungkin tidak minat karena IPNU tidak menjanjikan apa-apa.
Keilmuan dapat diklasifikasikan pada dua ranah; yaitu keilmuan disipliner di mana kader IPNU belajar dan sekolah; dan keilmuan keagamaan visioner. Yang disebut terakhir berarti bagaimana agar kader-kader IPNU dapat juga mewarisi cara berpikir keagamaan Nahdlatul Ulama. Tidak hanya mewarisi format organisasinya. Hal ini menjadi penting agar tidak terjadi kegagalan-kegagalan sebagaimana organisasi Islam yang hanya berbentuk format kepemimpinan, tetapi ideologinya hilang. Organisasi model seperti inilah yang sering melahirkan koruptor. Dengan begitu, maka Islam tidak lagi bisa menjadi filter dari tindakan-tindakan amoral.
Oleh karena itu harus diupayakan bagaimana khasanah pemikiran, pengamalan agama serta tata hubungan agama dengan masyarakat dan negara yang sudah menjadi budaya keagamaan kita, terwariskan secara baik. Saya sadar hal ini mtidak mudah untuk dilakukan. Bahakan NU sendiri belum tentu mampu mewariskan secara baik, karena beberapa faktor.
Pertama, pesantren-pesantren yang dijamin berfikir Sunni belum tentu berwawasan luas, sehingga ilmunya menggenang untuk diri sendiri. Oleh karena itu diperlukan ilmu-ilmu suplemen atau ilmu-ilmu bantu untuk mengalirkan ilmu pesantren salafiyahnya itu. Sekarang anak-anak muda sudah bisa membaca kitab-kitab kuning besar seperti Ihya ’Ulumuddin. Namun mereka tidak bisa bercerita apa-apa tentang kitab itu kepada komunitas lain. Akhirnya hak miliknya menggenang.
Kedua, para komentator agama lebih menguasai bibliotik agama daripada materi agama. Tulisan-tulisan tentang Al-Ghozali misalnya, sebenarnya adalah komentar, bukan materi agamanya. Jadi, yang punya ilmu tidak bisa memasarkan, dan yang menguasai pasaran tidak punya barang. Kalau kondisi ini berjalan dalam tempo berdekade-dekade, maka imamatul ulama dalam arti ilmiah akan selesai. Bahkan tidak mungkin lagi dari Indonesia tumbuh ulama yang berkaliber internasional, karena alat prosessing-nya tidak ada.
Fenomena ini tidak hanya melanda IPNU, melainkan juga generasi Islam pada ormas yang lain. Keadaan Muhammadiyah lebih berat dari kita dalam hal ini. Hal ini karena Muhammadiyah tidak memilik alat processing untuk menjamin kemuhammadiyahan generasi selanjutnya. SMP, SMA, universitas adalah public service dan public utility, bukan rule of ideology. Akhirnya generasi NU dan generasi Muhammadiyah adalah generasi yang sama-sama tidak paham tentang masalah keilmuan agamanya. Dulu, kalau ulama NU dan Muhammadiyah sekalipun beda tapi rukun, seperti Kyai Idham Kholid dengan Bapak Hamka, karena mereka sama-sama mengerti. Tapi celakanya, sekarang antara NU dan Muhammadiyah juga rukun karena sama-sama tidak mengertinya.
Hal ini saya minta diperhatikan oleh IPNU yang sejak semula dilahirkan untuk cita-cita ini, yaitu bagaimana mewawasankan ilmu salaf yang menggenang dan mengisi intelektual dengan materi agama. Bukan hanya informasi agama, melinkan juga amaliyyah dan karakter agama.
Selain itu kader IPNU hendaknya sadar bahwa pada era sekarang orang tidak bisa ditarik melalui dogma atau paradigma. Hal ini karena sudah kuatnya sekulerisasi keadaan  dan pragmatisasi masyarakat. Kalau ingin menarik mereka harus melalui kepentingan mereka. Kalau IPNU merekrut anggota dengan sekedar menyodorkan nama, maka hanya anak orang NU yang terjaring. Namun kalau IPNU menyediakan bimbingan belajar yang berkualitas misalnya, maka akan menarik banyak kalangan pelajar, bahkan bukan hanya pelajar keturunan NU.
Melalui pengabdianlah IPNU akan besar dan sebaliknya dengan kristalisasi dan kontradiksi sosial, IPNU akan semakin kecil. Ini adalah hukum sosiometri (gejala sosiologi yang hampir bisa dipastikan). Sementara gerakan radikal tidak pernah bisa besar, karena mainstream mayoritas tidak mungkin diajak radikal. Yang mungkin adalah diperhatikan kepentinngannya. Karena itulah gerakan radikal akan selalu berubah menjadi gerakan militan. Dan militan pasti minoritas aktif (active minority) bukan silent majority.
Kongkretnya, IPNU sudah semestinya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengabdian yang rohmatan lil ’alamin. Itulah jaring untuk merekrut kader muda terpelajar. Banyaknya anak-anak muda NU yang masuk organisasi lain, karena organisasi kepemudaan NU tidak bisa menyajikan pengabdian yang memadai. Pengabdian itu bisa berupa pelatihan, orientasi dan lain sebagainya. Melihat kecenderungan seperti ini kita tidak perlu marah, justru harus introspeksi untuk selanjutnya menandinginya dengan tindakan yang lebih baik. Nahdlatul Ulama selalu kalah karena semua gerakannya by accident, tidak ada yang diselenggarakan by design. Setiap kegiatan dilakukan hanya karena ketepatan-ketepatan. Karena itulah kegiatannya tidak memiliki frame yang jelas.
Nah, kalau pengabdian sudah ada, kita mulai meningkat pada latihan kepemimpinan. Latihan kepemimpinan ini tidak cukup dengan orientasi kepemimpinan. MAKESTA, LAKMUD dan lain-lain adalah orientasi kepemimpinan, belum menjadi pelatihan kepemimpinan. Setiap pemimpin dicetak melalui latihan. Pelatihan yang dimaksud bisa berarti pelatihan formal yang difasilitasi oleh fasilitator, namun yang jauh lebih penting adalah latihan langsung dengan peran-peran alamiah. Orientasi kepemimpinan tetap diperlukan, tetapi peluang untuk beraksi dengan belajar di lapangan sebagai pemimpin juga harus disediakan.
Namun kepemimpinan ini jangan dibatasi pada kepemimpinan NU dan kepemimpinan politik, tapi juga kepemimpinan sosial pada gerakan disipliner atau interdisipliner sesuai dengan habitat keilmuannya masing-masing. Tidak mungkin kader IPNU yang demikian banyak akan menjadi pemimpin NU semua. Hal ini bisa dijembatani dengan memberi peluang pada kader IPNU untuk ditempatkan pada kepengurusan NU maupun lembaga-lembaganya di setiap tingkatan, baik di wilayah, cabang, MWC dan ranting. Peluang ini sudah semestinya diberikan sebagai wahana belajar kepemimpinan yang tidak lagi orientatif, melainkan sudah  bersifat aksi. Tidak hanya itu, latihan aksi kepemimpinan ini juga bisa dilakukan dalam kepengurusan partai politik.
Hal ini menjadi agenda panting karena IPNU adalah “anak” NU yang paling memungkinkan untuk ditata. Berbeda dengan GP Ansor yang beranggotakan massa yang sudah tidak lagi berada pada satu level kepemimpinan yang seragam dan level pengetahuan dan pemikiran yang setingkat. Sebagaimana NU, GP Ansor sudah berhadapan dengan real community (masyarakat riil) yang heterogen. Sedangkan IPNU terdiri dari kader yang relatif homogen dalam level pemikiran. Dengan level tertentu ini maka IPNU dapat dibentuk untuk melakukan sikap yang sama terhadap sebuah fenomena.
Kepemimpinan IPNU yang saya maksud di atas mungkin bisa dalam ranah politik atau dalam dalam ranah disipliner. Jika kita memiliki ketrampilan tertentu dan berada di tempat tertentu, dengan didukung oleh jiwa kepemimpinan, maka kita dapat memimpin di tempat kita masing-masing. Kita tidak saatnya memaksakan diri untuk ngumpul semua di NU atau di partai politik. Karena kekuatan partai adalah kekuatan formalistik, sementara kekuatan masyarakat adalah kekuatan substansialistik.Dengan demikian IPNU akan mempunyai prospek masa depan atau tidak, tidak tergantung pada orang lain, melainkan tergantung pada kita. Tugas besar kader IPNU saat ini adalah mencari kembali formulasi gerakan untuk mengembangkan organisasi setelah menentukan pilihan untuk “kembali ke pelajar” dalam Kongres XVI di Surabaya. Selaku Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, kami memberi penghargaan sedalam-dalamnya atas penerbitan buku ini sebagai salah satu upaya untuk mencari arah baru gerakan pelajar NU.

Minggu, 25 Desember 2011

NU (The silence majority)

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah jam’iyyah diniyyah yang menganut paham ahlussunnah wal jama’ah. Di dalam bidang fiqh, NU menganut madzhab fiqh yang empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn  Idris asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, di dalam perkembangannya, mayoritas warga Nahdliyyin menganut paham Syafi’iyyah di bidang fiqh karena fleksibilitas dan ketelitian beliau di dalam metode istinbath al-ahkam. Selanjutnya, di dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyyah yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dinisbatkan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Selain itu, di bidang tasawuf, NU menganut paham Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Junaid al-Baghdadi. Begitulah sistem taqlid diwajibkan di dalam NU bukan untuk membodohkan ummat, tetapi justru sebagai sebuah sikap kehati-hatian di dalam mengikuti Al Quran dan Sunnah sehingga pengimplementasian amaliyah-amaliyah dan ibadah-ibadah Islam tidak akan melenceng dari Al Quran dan Sunnah.

Sebagai organisasi islam yang bersifat kultural, tidak mengherankan jika NU memiliki basis pendukung sebanyak empat puluh juta jiwa di seluruh Indonesia (data tahun 2000, kemungkinan saat ini lebih dari empat puluh juta jiwa dan data tahun 2009 didapat oleh Suaidi Asyari, memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU) yang kemudian menjadikan NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia dan mampu mengalahkan ormas Islam yang telah berkembang sebelumnya. Paham NU telah mengakar sangat kuat, sampai-sampai orang awam saja dapat menjadi keanggotaan NU secara kultural. Banyaknya basis pendukung juga tidak disebabkan oleh kelebihan NU sebagai organisasi masyarakat Islam yang bersifat kultural saja, tetapi juga disebabkan oleh model istinbath al-ahkam dan corak fiqh ala ahlussunnah wal jama’ah (dengan berbagai metode ijtihad, seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, Masalihul Mursalah, ‘Urf, Istishab, dan sebagainya) yang direpresentasikan oleh NU sangat fleksibel tanpa meninggalkan nilai-nilai pokok ajaran Islam dan tanpa meninggalkan dan mengesampingkan dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah.

Fleksibilitas pemikiran NU ini selanjutnya berefek pada fleksibilitas sikap para warga Nahdliyyin, khususnya terhadap perbedaan pemikiran atau pendapat dan mengenai adanya tradisi-tradisi. NU tidak kemudian melawan pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang dengan NU, tetapi NU justru memberikan ruang toleransi bagi mereka. Selain itu, NU tidak memberantas habis tradisi yang berkembang di masyarakat, namun dengan kecerdasan para kyai NU telah berhasil melakukan akulturasi dan asimilasi tradisi sehingga tradisi yang asalnya tidak sesuai dengan ajaran Islam, perlahan bermetamorfosa menjadi tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam meskipun tetap menimbulkan kontroversi dan kontradiksi pada sejumlah kalangan. Prinsip aswaja juga selalu dijunjung tinggi oleh NU di dalam sikapnya terhadap segala sesuatu yang berkembang di dalam masyarakat, yaitu tawazun (seimbang dalam segala hal, termasuk penggunaan dalil naqli dan dalil ‘aqli), tasamuh (mengembangkan toleransi), tawassuth (sikap tengah, tidak ekstrem kanan dan juga tidak ekstrem kiri), dan istidal (tegak lurus, artinya konsistensi antara pikiran, ucapan, dan perbuatan).

NU juga merupakan representasi dari kalangan pesantren Indonesia yang pernah mencatatkan dirinya dengan tinta emas karena keberhasilannya di dalam ikut serta memprotes tindakan Raja Ibnu Saud untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau serta keinginan Raja Ibnu Saud mewajibkan seluruh ummat Islam terutama yang beribadah haji untuk memeluk paham Wahhabi (suatu paham puritan yang dinisbatkan kepada Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab). Walhasil, Raja Ibnu Saud membatalkan rencananya untuk membongkar makam Nabi Muhamamd SAW dan beberapa sahabat serta kebebasan bermadzhab dijaminkan kepada para pemeluk Islam meskipun di Mekkah telah diputuskan paham resmi Negara adalah Wahhabi. Sebagai representasi dari kalangan pesantren, tentu saja NU juga memiliki banyak sekali kelebihan. Para kyai dan santri yang senantiasa belajar mengaji dan mengkaji, telah membuat mereka menjadi pribadi yang faqih‘alim, bermanfaat bagi agama dan Negara. Selain itu, sifat-sifatnya yang zuhudqana’ah, suka bersusah payah (prihatin—bahasa Jawa), taqwa, telah membuat beberapa dari mereka memiliki karamah dan kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa. Sehingga suatu hal yang mengherankan ketika banyak pihak yang menyangsikan dan menyepelekan kyai hanya karena sifat tidak baik dari sebagian kecil kyai saja.

Satu hal yang juga tidak kalah penting, semua Habib (keturunan Nabi) di Indonesia misalnya Habib Syeikh ibn Abdul Qadir Assegaf, Habib Rizieq Syihab, Habib Munzir al-Musawa (masih banyak lagi para habib yang lain) telah menjadikan pribadi mereka sebagai pembela paham ahlussunnah wal jama’ah ala NU. Bahkan Kyai Haji Habib Muhammad Luthfi Ali Bin Yahya menjabat sebagai Rais ‘Am Jam’iyyah Ahli Thariqat Al Mu’tabarah al Nahdliyah dan Rais Syuriah PBNU. Kelebihan ini bahkan tidak dimiliki oleh ormas Islam yang lain di Indonesia. Sebuah penghormatan yang sangat besar karena keturunan Nabi Muhammad SAW menjadi bagian dari NU.

Namun, sebagai organisasi islam yang bersifat struktural, NU justru memiliki banyak kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut dapat saya identifikasikan sebagai berikut :

1. Sepinya kegiatan di berbagai ranting atau cabang atau wilayah.
Di beberapa daerah, kegiatan yang dibawah struktural NU kurang progresif dan cenderung sepi. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa kalangan menyebut NU sebagai The Silence Majority (mayoritas yang hanya diam). Hal ini jelas merugikan NU sebagai organisasi Islam yang dibangun dengan tujuan salah satunya menegakkan agama Islam khususnya amalan-amalan ahlussunnah wal jama’ah dan juga menyejahterakan ummat. Sebagai organisasi yang terbesar, jangan sampai NU hanya mempunyai kegiatan yang menguntungkan pihak NU sendiri, NU harus progresif mengadakan kegiatan yang outputnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas secara umum dan masyarakat sekitar secara khusus. Tidak hanya kuantitas kegiatan yang menjadi sasaran di dalam menyusun program kerja, tetapi kualitas kegiatan juga penting. Kegiatan yang diadakan harus bersifat tepat sasaran, tepat guna, dan tepat tujuan. Mempertahankan kegiatan yang sudah menjadi tradisi memang baik, tetapi mengadakan inovasi kegiatan akan lebih baik. Ketika jaman semakin membuat tingkat kesulitan mencapai kesejahteraan hidup semakin tinggi dan juga berefek kepada tergadainya iman dan aqidah, kegiatan-kegiatan yang tidak hanya kegiatan keagamaan, misalnya kegiatan seminar, training, pelatihan, kursus, membuka klinik, koperasi, dan sebagainya, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang diadakan seperti ini sebenarnya tinggal mengadopsi konsep Fiqh Sosial yang dicetuskan oleh DR HC KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Rais Am Syuriah PBNU) dan kemudian mengimplementasikannya dengan berbagai teknik dan metode yang disesuaikan dengan sasaran dan kebutuhan sehingga memiliki output yang maksimal. Kegiatan seperti ini juga harus menyebar baik di setiap tingkatan maupun di setiap daerah. Kemampuan berpikir inovatif dan peka terhadap kebutuhan ummat tentu saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan skill pengelolaan organisasi yang tentunya sangat dibutuhkan dan harus ada di setiap jajaran struktural NU.

2. Semakin besar jumlah anggota suatu kelompok, semakin tidak kohesif (kompak, lekat, solid).
Data tahun 2009 menunjukkan bahwa sebanyak lima puluh satu juta jiwa muslim dan santri Indonesia berafiliasi dengan NU, baik secara kultural maupun secara struktural. Hal ini menjadi kelebihan yang dimiliki oleh NU yang menjadikan NU sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, tetapi di sisi lain juga menimbulkan efek negative yang lain. Efek tersebut adalah sulitnya mengelola keanggotaan yang sangat banyak. Di dalam hukum kohesivitas psikologi sosial, semakin besar jumlah anggota suatu kelompok akan mengakibatkan kurangnya kohesivitas para anggota kelompok tersebut. Beberapa kalangan juga menilai bahwa NU kurang serius di dalam mengelola keanggotaan warganya. Di pihak lain, banyak terdapat para anggota struktural NU yang juga kurang memahami manajemen organisasi yang baik yang juga akan mengakibatkan kurang solidnya barisan NU secara struktural. Banyak pertemuan di berbagai tingkatan dan daerah secara rutin dengan agenda membahas masalah terkini ummat untuk dicarikan solusinya mungkin akan dapat menjadi sebuah solusi untuk permasalahan kohesivitas ini. Selain itu, di sisi lain para anggota struktural NU juga harus belajar mengenai manajemen organisasi yang baik, bagaimana menyolidkan warga NU, bagaimana menghadapi masalah ummat, bagaimana ketika ada gesekan atau tantangan dari luar datang, dan sebagainya. Barangkali tantangan dari kaum radikalis—puritan yang semakin tinggi menjadi hikmah bagi NU untuk semakin menyolidkan barisan dan tidak lengah sedikitpun di dalam memperjuangkan Islam Sunni dan Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia.

3. Sistem taqlid mengharuskan para kyai NU menuntun para warga Nahdliyyin yang awam.
Warga NU sangat bervariasi, termasuk salah satunya mengenai tingkat pemahaman terhadap Islam secara umum dan ahlussunnah wal jama’ah secara khusus. Ada yang sangat pandai dan paham, tetapi ada juga yang tidak paham sama sekali atau taqlid buta. Hal ini jika dibiarkan secara terus menerus, bisa saja akan merugikan. Di sini saya tidak bermaksud mengharuskan setiap warga NU untuk berijtihad, tetapi setidaknya ada usaha dari setiap warga NU terutama yang awam untuk belajar mengenai keilmuan dan kemadzhaban serta ahlussunah wal jama’ah sehingga semakin mantap di dalam beramaliyyah. Begitu juga sebaliknya, dibutuhkan peran aktif dari para kyai terutama di tingkat pedesaan untuk istiqamah di dalam memberikan kajian-kajian yang tidak hanya bersifat akhlaq dan aqidah, tetapi juga kajian fiqh, paling tidak disesuaikan dengan sasaran sehingga warga yang awam mampu memahami amaliyyah-amaliyyah mereka meskipun tidak secara detail, namun akan lebih baik jika para warga mampu untuk memahami sampai detail. Memberikan dan menyerahkan permasalahan kepada yang bukan ahlinya merupakan perbuatan yang tidak terpuji, namun membiarkan ummat di dalam keawaman juga bukan tindakan yang bijaksana. Busyairi Harits, seorang tokoh dari PWNU Jawa Tengah memiliki konsep Gerakan Kiai Kampung untuk memberikan solusi agar ummat khususnya di daerah pedesaan tidak awam mengenai masalah keagamaan dan peribadatan serta dapat mencapai kesejahteraan.

4. Kontekstualisasi hukum membuat banyak orang terpengaruh paham skripturalis atau tekstualis.
Corak pemikiran NU adalah mengkontekskan hukum Islam tanpa meninggalkan nilai-nilai atau hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran dan Sunnah sebagai sumber utama di dalam penggalian hukum (istinbath al-ahkam) dan juga sebagai dalil utama. Hal ini sebagai konsekuensi dari prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah yang peka terhadap kemashlahatan ummat dan moderat, salah satunya terhadap budaya. Arti moderat bukan berarti mengijinkan berkembangnya budaya begitu saja tanpa penyaringan atau filter. Arti moderat di sini adalah tetap menghargai adanya budaya tersebut dengan berupaya mengadakan akulturasi dan asimiliasi dengan budaya Islam. Sehingga, budaya-budaya yang menjadi amalan-amalan warga Nahdliyyin atau Syafi’iyyah di Indoensia dan diklaim bid’ah dlalalah tersebut sudah tidak lagi memakai nilai Hindu, Budha, dan kejawen, tetapi justru diganti dengan nilai-nilai keIslaman, misalkan menghilangkan unsure kesyirikan, mengisi acara dengan doa dan sesuatu yang bermanfaat. Kontekstualisasi hukum seperti ini membutuhkan kecerdasan, kepahaman, ketelitian, dan kehati-hatian yang sangat dalam pada kalangan kyai karena yang dihadapi tidak hanya masalah duniawi saja, tetapi masalah keagamaan yang diperlukan ijtihad meskipun tidak berupa ijtihad muthlaq. Di dalam hadits Rasulullah SAW bersabda kesalahan ijtihad saja tetap diberi pahala satu, lalu mengapa masih ada pihak-pihak yang mengeklaim sesat dan salah padahal NU dan Syafi’iyyah belum tentu salah dan mereka belum tentu benar? Kontekstuaslisasi hukum ini juga kemudian berefek kepada sulitnya memahami hasil dari kontekstualisasi hukum tersebut, sehingga memberikan peluang ketidakpahaman kalangan awam yang kemudian banyak kalangan awam yang mudah terpengaruh oleh gerakan radikalis—puritan yang cenderung tekstual dan skripturalis di dalam memahami hukum-hukum di dalam Al Quran dan Sunnah. Hal ini yang kemudian membutuhkan upaya keras dari kalangan cendekiawan NU dan warga NU yang duduk di jajaran struktural NU untuk senantiasa mengawal dan membentengi para warga yang masih awam agar tidak terseret dan tidak terpengaruh oleh gerakan-gerakan semacam itu yang justru mengancam keutuhan ummat dan ukhuwah islamiyyah.

5. Banyak para kaum muda NU terlibat ke dalam pemikir yang liberal (neo Mu’tazilah).
Pemikiran akan terus berkembang karena sifat pikiran dan ilmu pengetahuan yang dinamis. Perkembangan pemikiran seperti ini mampu memberikan efek positif di dalam kehidupan untuk tujuan kesejahteraan ummat. Namun, di sisi lain ketika terdapat kesulitan di dalam kehidupan yang membutuhkan tingkat dinamis dan fleksibiltas pemikiran yang tinggi, akan justru mengakibatkan liarnya pemikiran yang mungkin dapat keluar dari ketentuan syara’. Seperti yang telah tercatat oleh sejarah bahwa Islam pernah berjaya di tangan kaum Mu’tazilah yang pandai berdebat dengan teknik rasionalitas yang tinggi dan kemampuan filsafat yang hebat untuk menghadapi kaum zindiq yang menggerogoti Islam dari dalam. Namun, di sisi lain, mereka justru telah melampaui batas di dalam menggunakan akal dan pikiran mereka sehingga mereka diberangus oleh mantan pengikutnya sendiri, Abu Hasan al-Asy’ari yang telah taubat dari paham Mu’tazilah yang dianutnya selama 40 tahun, dan beliau telah menancapkan paham Asy’ariyyah menggantikan paham Mu’tazilah. Periode saat ini banyak muncul pemikiran liberal yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai pemikiran liar dan liberal yang menyalahi syara’. Beberapa dari kalangan yang disebut sebagai neo-Mu‘tazilah oleh beberapa pihak yang tidak setuju dengan mereka, justru menganut paham NU meskipun secara struktural tidak masuk di dalam kepengurusan NU. Terlepas apakah cara berpikir mereka benar atau bahkan salah, keberadaan pemikiran tersebut terbukti menodai kalangan NU sendiri, bahkan tidak jarang kalangan kyai berselisih pendapat dengan kaum muda NU yang liberal. Selain itu, terdapat beberapa mahasiswa NU yang tergabung dalam PMII suatu universitas sering mengadakan diskusi membahas mengenai teologi dan doktrin-doktrin yang membuat mereka berfilsafat tanpa arah dan tujuan yang jelas dan kemudian menjadikan mereka mempermainkan Tuhan dengan setiap tindakannya. Hal ini selain dapat menghilangkan nilai-nilai hukum Islam, juga dapat mengancam ukhuwah di tubuh NU sendiri. Jelas efek semacam ini sangat merugikan bagi NU sendiri. Sehingga kalangan kyai atau Syuriah atau Mustasyar harus dapat bertindak secara tegas dan tepat di dalam menghadapi kasus seperti ini. Islam memang agama rahmat untuk seluruh alam, namun bukan berarti universalitas dan fleksibilitas hukumnya meninggalkan nilai-nilai yang dibawanya sendiri.

6. Sikap toleransi yang kemudian disalahartikan menyebabkan sikap toleransi yang berlebihan.
Salah satu prinsip dari Ahlussunnah wal Jama’ah adalah prinsip tasamuh yang diartikan sebagai sikap toleransi dan menghargai perbedaan. Mungkin saja sikap pluralisme tumbuh dari sikap toleransi ini, yang kemudian menimbulkan polemic dan kontroversi dari tingkat ulama sampai tingkat akademis. Ada salah satu fenomena yang menurut saya kurang tepat dari segi aqidah, misalkan ketika Yenny Wahid (putri Alloh Yarham KH Abdurrahman Wahid) menginstruksikan kepada Barisan Ansor Serba Guna (BANSER) untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban perayaan Paskah. Dari segi toleransi ummat beragama jelas ini adalah sikap yang menguntungkan karena dapat menimbulkan good image dari kalangan non-Islam terhadap kalangan Islam. Namun, dari segi aqidah, bisa-bisa sikap semacam ini melunturkan aqidah seseorang. Menjaga ketertiban dan keamanan peringatan keagamaan agama lain memang kewajiban setiap warga, namun bukankah POLRI yang seharusnya berada di garda terdepan karena itu memang tugas POLRI? Bukankah ketika ikut menjaga peribadatan mereka juga berarti mengakui kegiatan peribadatan mereka yang pada akhirnya berefek kepada kepercayaan secara tidak langsung terhadap Tuhan mereka? Toleransi bukan selalu harus terlibat secara langsung, membiarkan mereka beribadah dan tidak bersikap anarkis serta provokatif pun sudah termasuk sikap toleransi. Toleransi memang membutuhkan pertimbangan kemashlahatan ummat, tetapi juga bukan berarti membuat aqidah kita menjadi luntur.

7. Motivasi menulis warga Nahdliyyin rendah.
NU merupakan sebuah organisasi yang didominasi oleh kalangan santri dan kyai. Hampir seluruh waktu di setiap harinya dipakai santri untuk mengaji kitab kuning kepada para kyainya. Selain itu, santri juga dituntut menegakkan sembahyang-sembahyang sunnah sehingga bisa dikatakan waktu 24 jam dalam sehari kurang bagi santri dan kyai. Betapa sibuknya mereka untuk mencapai kemuliaan akhirat dan untuk mencari bekal menyejahterakan ummat kelak ketika sudah keluar dari pondok. Kesibukan ini ternyata memiliki sedikit (jika tidak mau dikatakan banyak) efek yang kurang baik bagi santri, yaitu kurangnya (bukan tidak adanya) motivasi untuk menulis. Menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia juga selain mengaji. Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari (sebagai pendiri dan Rais Akbar NU) saja rajin menulis yang membuat beliau menghasilkan karya sebanyak 20 kitab. Apalagi para santri dan warga NU, harus mencontoh keteladanan beliau. Menulis ini juga akan menimbulkan dampak positif bagi NU sendiri, yaitu sebagai sarana membentengi diri dari hantaman kalangan radikalis—puritan yang notabene rajin menulis namun ketika diadakan dialog terbuka secara ilmiah justru tidak pernah menyanggupi. Banyak media massa yang didominasi oleh kalangan radikalis—puritan yang menjadikannya sebagai alat untuk menyebarkan pahamnya. Buku merupakan salah satu media yang paling ekonomis dan dapat menyebar luas sehingga untuk menghadapinya juga dibutuhkan usaha sebanding. Salah satu upaya untuk menumbuhkan minat menulis ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh NU sendiri yaitu melalui pelatihan yang diadakan oleh lembaga NU yang bernama Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM). Namun, upaya ini sepertinya kurang progresif di berbagai daerah. Upaya seperti training dan pelatihan menulis harus diupayakan secara kontinyu dan berkualitas di berbagai tingkatan dan daerah. Tidak hanya mengembangkan kemampuan menulis, tetapi juga mengembangkan keilmuan terkait konten atau materi mengenai apa yang ditulis, misalkan keilmuan fiqh, hadits, Al Quran, tafsir, dan sebagainya. Para kyai pun juga dituntut untuk memotivasi para santrinya agar memiliki gairah berkarya.

8. Pengkaderan yang kurang progresif di beberapa daerah.
Sebagai organisasi secara struktural, NU kurang dapat mengendalikan keanggotannya. Hal ini berakibat pada pengkaderan yang kurang rapi dan kurang optimal. Banyaknya anggota dan kader secara struktural belum tentu menjamin kelangsungan NU sendiri. Selain kuantitas, kualitas kader juga sangat penting. Karena itu, harus ada upaya pengkaderan secara serius dan kontinyu. Misalkan, pengkaderan IPNU, IPPNU, GP Ansor dan Banser-nya, Fatayat NU, harus dilaksanakan sesuai dengan program kerja dan konsep yang telah dicanangkan oleh NU, seperti Pelatihan Kader Muda (Lakmud) untuk pengkaderan IPNU dan IPPNU. Tidak hanya itu, teknik acara dan konten acara juga harus diperhatikan. Materi-materi yang diberikan harus berkualitas, misalkan materi tentang manajemen organisasi, aswaja, keNUan, networking, kohesivitas, pendidikan karakter dan mental, dan sebagainya. Dari situ, tentu saja dibutuhkan peran kalangan senior di dalam mengadakan kegiatan tersebut. Pengkaderan yang berkualitas akan melahirkan kader yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga militan dan loyal. Kader yang militant dan loyal akan mengakibatkan kohesivitas yang tinggi di antara para kader NU. Pada akhirnya, NU akan menjadi organisasi yang kuat dan kokoh, tidak mudah goyah dengan terpaan badai dan tantangan serta akan dapat memecahkan permasalahan ummat.

9. Jangan hanya berNU secara kultural, tetapi juga secara akademisi.
Sebagai jam’iyyah diniyyah, tidak cukup ketika hanya mengaku dan melaksanakan amaliyyah-amaliyyah NU saja. Tetapi diperlukan upaya untuk paling tidak memahami amaliyyah-amaliyyah tersebut sesuai kadar kemampuan sehingga akan semakin mantap di dalam beramaliyyah. Tidak hanya itu, peningkatan pendidikan juga harus menjadi perhatian khusus NU. Pendidikan merupakan permasalahan urgen dan sampai sekarang masih menjadi permasalahan yang terus diperbincangkan. Pandai di dalam keilmuan agama merupakan tingkatan yang mulia, namun pandai di dalam keilmuan umum juga tidak bisa dianggap remeh. Keilmuan agama dan umum sangat bermanfaat guna mencapai kesejahteraan dunia dan kahirat (sa’adatuddarain). Permasalahan kekinian tidak cukup diselesaikan dengan hanya beribadah dan berdoa saja, tetapi juga dengan upaya yang membutuhkan kecerdasan dan pengembangan pemikiran dan keilmuan guna memecahkan permasalahan ummat, khususnya yang bersifat duniawi. Efek selanjutnya, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan dapat diminalisir dan dihilangkan yang selanjutnya mengakibatkan kesejahteraan ummat. Arah perjuangan di dalam mengentaskan dan memecahkan berbagai masalah tersebut harus sejalan dengan Qanun Asasy Nahdlatul Ulama (yang dipidatokan oleh Rais Akbar NU pada Muktamar I NU, Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari yang sekaligus menjadi Anggaran Dasar NU), Khiththah Nahdliyyah(yang dirumuskan oleh Kyai Haji Achmad Shiddiq yang menjadi Rais Am PBNU masa jabatan 1984—1991), dan Mabadi’ Khairu Ummat. Sehingga sebagai warga NU, khususnya santri, harus mampu menjadi kalangan terpelajar sebelum akhirnya melakukan upaya pengentasan kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan ummat demi mencapainya kesejahteraan ummat dan kejayaan Islam.

10. Para warga Nahdliyyin diharapkan aktif untuk menyumbangkan segala sesuatu kepada NU.
Sebagai warga yang bersedia diafiliasikan dengan NU, seharusnya memiliki komitmen tinggi untuk berkorban kepada NU. Berkorban banyak caranya. Berkorban juga sebaiknya dilaksanakan dengan maksimal tanpa menafikan kemampuan dan kadar diri masing-masing. Bagi para warga Nahliyyin yang duduk di jajaran struktural NU, sebaiknya melengkapi keterampilan diri dengan keterampilan manajemen organisasi di samping keterampilan keilmuan dan interpersonal. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan harta diharapkan bersedia menyisihkan sebagian hartanya untuk NU, misalkan membangun gedung NU tingkat Majelis Wakil Cabang atau Cabang atau Wilayah, agar di setiap kegiatannya NU mampu mengaktualisasikan dirinya dengan baik tanpa terkendala fasilitas. Selain itu bisa juga menyumbangkan hartanya untuk kegaiatan-kegaiatan NU sebagai donator. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di bidang pemikiran, diharapkan bersedia menyumbangkan pemikiran dalam hal apapun untuk kemajuan NU dan kemashlahatan ummat, misalkan pemikiran mengenai hal-hal kekinian, pemikiran mengenai konsep kegiatan yang inovatif, dan sebagainya. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kemampuan menulis, diharapkan bersedia menuliskan setiap pemikirannya dan mempublikasikannya kepada masyarakat NU dan umum sehingga mampu mencerahkan tidak hanya NU saja tetapi juga masyarakat umum. Bagi warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di dalam hal kepandaian atau kefaqihan, maka diharapkan mampu mencerahkan dan mencerdaskan ummat dengan ilmunya. Tentunya sikap-sikap seperti harus disertai dengan pengimplementasian prinsip-prinsip ahlussunnah wal jama’ah dengan baik.

11.  NU harus merapikan strukturalnya.
Sebuah tantangan yang berat untuk organisasi sebesar NU di dalam mengelola keanggotaan dan organisasinya. Dibutuhkan skill dan kemampuan mengenai keilmuan manajemen organisasi untuk mengelola organisasi besar dengan baik. NU yang juga bercorak struktural jangan hanya mengandalkan basis strukturalnya. Anggota NU sudah banyak tanpa pengelolaan dengan baik karena sudah melekatnya tradisi ahlussunnah wal jama’ah yang berkembang di Indonesia. Hal ini akan sangat baik jika disertai pengelolaan organsasi dengan kualitas yang tinggi yang akan membuat organsasi menjadi sangat rapi. Efeknya, keangotaan akan jelas dan kinerja akan semakin produktif. Sebagai salah satu contohnya, program dari PBNU yang membuat KARTANU (Kartu Tanda Anggota NU), baik untuk warga NU secara struktural maupun secara kultural. Program ini tentunya sangat berkualitas karena dengan adanya KARTANU ini, maka seluruh anggota dan warga NU akan tercatat di databaseNU. Jika keanggotaan jelas, maka PBNU tidak akan kesulitan untuk berinteraksi dengan para warganya dan juga tidak akan mengalami hambatan jika warganya membutuhkan pertolongan. Kelebihan yang lain dari KARTANU ini tidak hanya berfungsi sebagai kartu tanda anggota saja, tetapi juga sebagai kartu asuransi dan kartu pra bayar. Namun, sayangnya upaya PBNU ini tidak diimbangi dengan respon yang reaktif dari jajaran struktural dibawahnya yang seharusnya membantu PBNU di dalam mengkoordinasi warga NU untuk membuat KARTANU tersebut, misalkan oleh PWNU dan PCNU, sehingga program yang berkualitas ini kurang terpublikasi dan terealisasi dengan baik. Upaya yang lain untuk merapikan struktural NU adalah dengan cara memasang nameboard NU dan badan otonom-badan otonom (banom) NU di setiap ranting (desa) atau majelis wakil cabang (kecamatan) atau cabang (kabupaten) atau wilayah (propinsi), sehingga akan jelas bahwa di daerah tersebut merupakan basis pendukung NU. Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini merupakan tanggung jawab dari jajaran struktural NU misalkan PCNU. Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini juga tidak dapat dilakukan “asal dipasang”, tetapi harus berada di tempat yang strategis, atau jika dimungkinkan dipasang di kantor NU dan banom-banomnya. Hal ini akan memudahkan akses para warga NU jika membutuhkan bantuan dari NU dan mengadakan kegiatan keNUan. Selain upaya tersebut, merapikan organisasi juga tidak hanya merapikan secara struktural, tetapi juga merpikan program kerja dan realisasinya sehingga program kerja dapat terlaksana dengan baik dan dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat.

12. NU harus bertindak tegas kepada para warganya yang melenceng dari prinsip dan ajaran aswaja.
Ketika saya jalan-jalan di sebuah toko buku, terdapat buku yang sangat kontroversi, yaitu Mahrus Ali yang mengaku Mantan Kiai NU dan buku yang diterbitkan oleh penerbit yang sama yang berjudul “MWC NU Menggugat Aqidah Sesat NU”. Hal ini sangat disayangkan karena mengancam ukhuwah NU secara khusus dan ukhuwah islamiyyah secara umum. Diperlukan ketegasan yang nyata dari jajaran struktural NU yang lebih tinggi untuk menindaklanjuti para warganya yang mengancam ukhuwah terlebih lagi beberapa oknum warga NU yang bertindak provokatif dan meninggalkan prinsip-prinsip aswaja. Hal ini jelas dibutuhkan untuk menumbuhkan persepsi bahwa NU merupakan organisasi yang tidak hanya besar, tetapi juga tanggap dan tegas secara cerdas. Respon-respon untuk tindakan semacam ini tidak cukup dengan menulis buku-buku counter yang banyak tetapi juga dengan sikap dan tindakan seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa jajaran kultural dan sturktural NU misalnya dengan memberikan pengajian kefiqhan dan debat ilmiah secara terbuka. Namun, upaya ini harus dilakukan secara merata dan menyeluruh di setiap tingkatan dan daerah NU. Tentu saja hal ini membutuhkan tidak hanya keilmuan semata, tetapi juga motivasi dan keberanian yang tinggi tanpa mengancam ukhuwah dan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip aswaja.

13. Perbaikan akhlaq dan pergaulan di kalangan pelajar dan kaum muda NU.
Ketika era semakin berkembang pesat, tidak hanya teknologi saja yang mengglobal, tetapi juga karakteristik berpikir dan budaya dari tempat asal tekonologi tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya gerusan budaya local dan local wisdom Indonesia yang banyak sesuai dengan prinsip aswaja. Pada akhirnya, etika bersikap dan bergaul akan semakin menipis dan pudar. Fenomena seperti ini merupakan fenomena yang sangat ironis mengingat NU tidak hanya bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan saja tetapi juga bergerak di bidang akhlaq dan etika. Banyak para kaum muda dan pelajar NU di berbagai daerah yang kehilangan etika dan mencerminkan rendahnya akhlaq yang disebabkan oleh gaya hidup yang semakin modern. Fenomena semacam ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari NU, terutama kalangan struktural NU. Pondok yang tersebar luas dan merata di berbagai pedesaan perlu dimaksimalkan lagi untuk memberikan perannya di dalam memperbaiki akhlaq masyarakat. Peran kyai juga lebih ditonjolkan lagi mengingat karakter kyai yang tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga bijak dan berakhlaq mulia yang harus dijadikan tauladan di setiap daerah. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari para kyai dan santri untuk tetap mempertahankan etika dan akhlaq yang mulia di tengah arus globalisasi ini. Selain itu, saya pernah menemui karakter santri yang “memudahkan” (jawa : nggampangke) ibadah dengan dalil Alloh Maha Tahu. Hal ini kurang bijak jika dilakukan oleh santri yang notabene merupakan kalangan yang tidak hanya tahu tetapi juga paham mengenai keagamaan dan ibadah (meskipun tidak bijak juga jika dilakukan oleh orang biasa non santri). Mengetahui dan memahami secara mendalam seharusnya lebih membuat diri seorang santri semakin rajin dan tidaknggampangke masalah keagamaan dan ibadah. Apalagi santri menjadi role model kaum terpelajar dan harus bisa menjadi contoh bagi masyarakat.

14. NU harus mengelola kegiatan-kegiatan dengan baik di setiap tingkatan.
Sebagai sebuah organisasi yang besar, NU membutuhkan orang-orang dengan skill manajemen organisasi yang tinggi. Tidak hanya dibutuhkan di dalam merapikan dan menyolidkan jajaran struktural NU, tetapi juga untuk mengelola kegiatan dan program kerja dengan baik. Kegiatan yang merupakan realisasi program kerja harus dikelola oleh NU dengan baik agar kegaiatan tersebut terkendali dan terarah sehingga efek positif dapat dirasakan oleh semua kalangan yang membutuhkan. Pada setiap kegiatan dan organisasi, juga dibutuhkan tingkat koordinasi dan komunikasi yang tinggi, apalagi pada organisasi sebesar NU. Kegaiatan-kegiatan yang diadakan juga harus dikoordinasikan dan dikomunikasikan tidak hanya dengan struktural NU setempat, tetapi juga dengan struktural NU yang lebih tinggi. Hal ini bukan hanya sekedar bentuk pertanggungjawaban kepada struktural NU yang lebih tinggi, tetapi juga memungkinkan pengawasan dari struktural NU yang lebih tinggi sehingga kegiatan yang diadakan akan semakin berkualitas. Jika koordinasi kurang, maka jajaran struktural NU yang lebih tinggi akan tidak mengetahui struktural NU yang lebih rendah mana saja yang program kerjanya terlaksana dengan baik dan struktural NU yang lebih rendah mana saja yang program kerjanya tidak terlaksana, sehingga jajaran struktural NU yang lebih tinggi harus menegur dan mengetahui permasalahan yang terjadi yang menyebabkan program kerja dapat terlaksana dengan baik dan tidak terlaksana. Di sinilah peran struktural NU yang lebih tinggi tersebut untuk membantu jajaran struktural NU yang lebih rendah di dalam kegiatan salah satunya, sehingga kegiatan-kegaiatan NU akan berkualitas dan NU tidak akan diklaim sebagai The Silence Majority. Selain itu, jangan sampai juga organisasi sebesar NU memiliki orsi kegiatan yang berefek pada diri sendiri lebih besar daripada kegiatan yang berefek pada masyarakat luas. Jangan sampai juga terlena atas keberhasilan masa lalu yang akan membuat warga NU sekarang membanggakan nenek moyangnya dan tidak lagi berkarya.

15. Membangkitkan semangat untuk senantiasa memperkokoh NU.
Semangat dan motivasi diperlukan untuk setiap sesuatu yang membutuhkan perjuangan di dalam mencapai goal (tujuan). Semangat di dalam mempertahankan NU dapat dilakuakn dengan berbagai cara sesuai kadar kemampuan masing-masing warga NU. Yang jelas, jangan sampai organisasi sebesar NU kehilangan semangat terutama semangat memperkokoh NU dan semangat senantiasa berjuang untuk kemashlahatan ummat. Semangat ini bisa dibangun dengan berbagai macam cara. Misalnya dengan membaca buku-buku keNUan yang berisi profil para tokoh NU dan keberhasilan-keberhasilan NU sehingga memotivasi untuk selalu berkarya lewat NU. Selain itu, peka terhadap realitas juga akan menimbulkan semangat dan motivasi, seperti misalnya melihat realitas bahwa aswaja dan NU semakin tergerus oleh kalangan radikalis—puritan yang gigih menyuarakan visi dan misinya memurnikan agama Islam serta mengkafirkan ummat Islam yang tidak sepandangan dengan mereka, melihat realitas bahwa ternyata masalah kebodohan, keterbelakangan, kesejahteraan, pendidikan, akhlaq, ekonomi, dan sebagainya masih menjadi masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Semangat dan motivasi keNUan juga dapat ditumbuhkan ketika pelatihan kader dan reorganisasi yang disisipkan di setiap materi yang diberikan. Namun, menimbulkan semangat dan motivasi tanpa menjaganya merupakan tindakan yang kurang berkualitas sehingga menjaga motivasi dan semangat juga merupakan suatu hal yang tidak kalah penting dari memunculkan semangat dan motivasi itu sendiri.

16. Mengadakan relasi dengan penerbit ternama untuk menerbitkan buku-buku keNUan.
Relasi dengan penerbit terutama penerbit yang bonafide dan ternama merupakan sebuah langkah penting di dalam mempublikasikan dan mendistribusikan pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan karya-karya warga NU. Terutama sekarang NU dihadapkan dengan pertarungan media dengan kaum radikalis—puritan yang mendominasi media, terutama buku dan penerbit. Penerbit yang menjadi relasi juga jangan sampai hanya memikirkan untung—rugi, tetapi juga mempertimbangkan pengorbanan terhadap NU sehingga personal approach dibutuhkan di dalam hal ini. Sehingga, buku-buku keNUan, ke-aswaja-an, dan kemadzhaban Syafi’i  dapat diterbitkan secara luas dan merata serta dicetak berulang kali.

17. Perkuat aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan madzhab Syafi’iyyah.
Tidak semua kalangan santri atau warga Indonesia yang memiliki amaliyyah-amaliyyah seperti NU bersedia diafiliasikan dengan NU karena NU merupakan organisasi, sedangkan amaliyyah-amaliyyah tersebut tidak terikat organisasi, tetapi terikat oleh madzhab. Sehingga kalangan madzhab secara umum dan kalangan Syafi’iyyah secara khusus, yang tidak tergabung ke dalam NU, juga perlu memperkuat aqidah ahlussunnah wal jama’ah dan pengetahuan tentang kemadzhaban sehingga tidak mudah terpengaruh dan memiliki benteng pertahanan yang kuat dari serangan kalangan radikalis—puritan.
Dibutuhkan ijin dari Alloh SWT, doa dari ummat, dan upaya dari seluruh Aswaja dan NU di Indonesia untuk teap melestarikan amaliyyah-amaliyyah Aswaja dan madzhab yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Insya Alloh, dengan itu semua, semoga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah, dan madzhab (terutama madzhab Syafi’i) akan terus bercahaya dan menancap kuat di hati, pikiran, dan sikap para warganya yang setia. Jangan sampai kebathilan yang terorganisir dapat mengalahkan kebenaran dan kebaikan yang tidak terorganisir. Bravo NU!! Bravo IPNU!! Bravo Aswaja!! Bravo Syafi’iyyah!! Allâhu Akbar!!

Selamat Berjuang, Belajar dan Bertaqwa
Wallahul Muwaffiq ilaa Aqwamitthariiq.

IPNU meneguhkan Kepribadiannya


IPNU (Ikatan Pelajar nahdlatul Ulama) lahir sebagai wadah pelajar dan kader NU untuk membentuk insan yang berakhlak mulia (takwa), dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. IPNU adalah anak kandung NU, secara struktural adalah badan otonom NU. Artinya, sebagai badan otonom IPNU berhak mengatur kepribadiannya sendiri, punya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang berbeda dengan NU. Namun sebagai anak, kepribadian IPNU tidak boleh bertentangan dengan aturan rumah tangga orang tua  yang menaunginya dan melindunginya dalam rumah besar NU.

NU telah mendeklarasikan diri sebagai ormas yang moderat, artinya tidak terlalu bebas (liberal) dan tidak terlalu jumud (fundamental) dalam berfikir. Muktamar 1984 di Situbondo menghasilkan keputusan, Pancasila sebagai asas organisasi NU. Mulai saat itu dipundak NU ada dua sayap yang harus sama-sama dikibarkan; keislaman dan kepancasilaan.
Sayap kanan NU adalah keislaman, setiap detak jantung dan jengkal langkah yang dijalankan tidak boleh lepas dari riil islam itu sendiri yaitu Al Qur'an dah Hadits yang diemplimentasikan dalam sikap ta'adul (keadilan), tawasut (moderat), tasamuh (toleransi) dan tawazun (keseimbangan). Sementara sayap kiri NU adalah Pancasila dan UUD 1945.

Trend Pemikiran Pelajar NU
Masih terngiang dengan jelas pidato sambutan Ketua Umum PBNU Abah KH. Hasyim Muzadi pada Pelantikan Pimpinan Pusat IPNU di Jakarta beberapah tahun lalu. Beliau mengatakan, saat ini muncul kecenderungan maraknya fundamentalisasi dan liberalisasi agama. Pelajar yang sekolah/kuliah di kampus umum lebih menyukai pemikiran islam yang keras, radikal dan ekstrim. Sementara santri yang belajar di pesantren cenderung kepada wacana islam liberal.
 

Abah melanjutkan maraknya dua kutub pemikiran tersebut disinyalir karena mereka yang kuliah di kampus umum sangat minim dengan pengetahuan agama. Dan mereka yang belajar di pesantren bosan dengan pemikiran kaum pesantren dan dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, sehingga mencari pemikiran lain yang baru.
Dua wacana pemikiran tersebut mulai menjadi tren pelajar NU. Liberalisme agama yang sangat jelas bertentangan dengan asas organisasi NU makin marak dikalangan anak muda NU. Jika kader NU saat ini tak lagi berpedoman dengan asas NU, bagaimana nasib NU sepuluh tahun yang akan datang saat mereka mengganti pengurus-pengurus NU saat ini.
IPNU yang diberi amanah untuk mengurusi anak muda dan pelajar NU harus bertanggung jawab terhadap trend pemikiran yang terjadi pada pelajar NU. IPNU sebagai wadah kaderisasi anak NU berkewajiban untuk menggiring, menuntun, dan membimbingnya ke jalan yang ditempuh NU.

Perselingkuhan Punggawa NU
Maraknya fundamintasme dan liberalisme agama yang terjadi pada anak muda NU tidak bisa sepenuhnya dipasrahkan kepada IPNU. Semakin menipisnya pelajar di jalur NU bukan hanya IPNU yang harus bertanggung jawab. Semua lembaga dan badan otonom dibawah naungan Nahdlatul Ulama harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
 

Roda organisasi IPNU dijalankan anak muda. Sebagai insan yang senantiasa membutuhkan arahan dan bimbingan tentu setiap langkahnya tidak selalu dijalur yang lurus. Tegur sapa induk IPNU sangat urgen untuk keselamat anak-anaknya. Budaya tegur sapa inilah yang masih belum biasa dan perlu dibudayakan diantara lembaga-lembaga NU. Sampai saat ini IPNU seperti anak ayam yang kehilangan induknya dan berjalan sendiri-sendiri.
Minimnya tegur sapa ini (untuk tidak mengatakan tidak ada) setidaknya karena disebabkan dua hal. Pertama, punggawa-punggawa NU juga tidak dijalur NU. Sekalipun muktamar NU telah menghasilkan kesepakatan untuk kembali ke khitah sebagai organisasi sosial keagamaan, tapi tampaknya sampai saat ini elite-elitenya masih tetap saja menjadikan NU sebagai kendaraan menuju parlemen, senayan dan istana negara. Ketika punggawa-punggawanya juga tidak dijalur NU, bagaimana ia bisa menasehati anak-anaknya.
 

Kedua, sebagai dampak dari yang pertama, punggawa NU laksana kacang lupa sama kulitnya. Setelah mencapai puncak karir yang diincar, mereka tidak lagi peduli dengan nasib NU dan tidak mau tahu dengan keberadaan kader muda NU. Tidak adanya saling tegur sapa dan kepedulian punggawa NU terhadap anak muda NU, disinilah titik rawan anak NU diadopsi kelompok lain dan dicekoki ideologinya.
Selamat Belajar, Berjuang dan Bertakwa!

Sabtu, 24 Desember 2011

Reaktualisasi Ruh Organisasi Pembelajar


Oleh : Ahmad Syauqi (Ketua Umum PP IPNU)

Proyeksi masa depan bangsa secara eksplisit tergambar dari tinggi-rendahnya kualitas pelajar. Tesis ini jamak diyakini dan terus didengungkan selama berabad-abad oleh hampir semua generasi di muka bumi. Pelajar sebagai kaum muda cendekia merupakan pewaris sejarah sekaligus cermin miniatural peradaban. Betapa tidak! Hasil dari proses belajar, tak hanya dalam arti definitif di bangku pendidikan formal, tetapi juga dalam arti luas berupa proses belajar dari pengalaman hidup, menjadi sandaran utama bagi tindaklanjut pembangunan bangsa (mental maupun fisik). Sebab siapa lagi yang akan meneruskan tahapan cita bangsa, jika bukan para kaum muda cendekia!

Karenanya, sumberdaya manusia para pelajar menjadi standar utama menilai sejauhmana kemajuan bangsa. Jika sumberdaya manusianya rendah, masa depan bangsa dalam kondisi terancam. Sebaliknya, jika kualitas sumberdayanya tinggi, maka masa depan bangsa dipastikan akan mengalami pencerahan. Inilah tanggungjawab besar yang musti diemban, bukan hanya oleh para generasi senior dalam mempersiapkan piranti bagi para juniornya, melainkan para pelajar sendiri.

Pelajar dituntut memperkaya diri dengan kelengkapan perangkat (complete tools) di tengah fluktuasi kehidupan yang serba rumit. Pelajar musti selalu menempa diri dengan pengalaman, keilmuan dan sikap mental kokoh agar menjadi “generasi paripurna” (Asy Syubban Al Kaafi). Sebuah generasi yang mampu menjawab pelbagai problem dengan tawaran konsep dan formula baru sesuai dengan konteks zamannya (zeitgeist).

Dalam situasi demikian, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) sebagai representasi organisasi pelajar mempunyai tanggungjawab besar memerankan diri menjadi ruang aktualisasi dan tempat dinamika proses menuju terciptanya generasi paripurna. Hal ini tentu tak semudah membalik telapak tangan. Terlampau banyak halang rintang yang musti hadapi dan diselesaikan, baik problem internal organisatoris maupun permasalahan kepelajaran secara umum.

Sebagai organisasi kader NU, IPNU tentu berada di garda depan proses kaderisasi. Namun tak ayal, separuh abad lebih eksistensi IPNU di tengah dinamika organisasi kepelajaran dan kepemudaan disatu sisi dan berada di lingkup jam’iyah NU di sisi lainnya, ia tengah mengalami dilema. 

Pertama, tak tercukupinya diaspora pluralitas potensi kader dalam wadah organisasi. Musti diakui bahwa sesungguhnya pelajar NU mempunyai kekayaan potensi berlimpah. Namun karena kelemahan manajemen kaderisasi, maka tak sedikit dari mereka yang belum terwadahi di dalam struktural organisasi. Pada saat bersamaan, kerap terjadi kesenjangan antara IPNU dengan organisasi induknya: NU. Fenomena dibeberapa cabang dan wilayah kerap muncul kesalahpahaman antara keduanya.

Kedua, minimnya kreasi dan format gerakan. IPNU masih kerap terstigma sebagai organisasi pelajar “sarungan” yang kurang begitu laku dihadapan para pelajar NU yang notabene berada di sekolah favorit. Di sini, strategi dinamisasi program dan agenda kontekstual dengan kepeminatan pelajar dan remaja harus kian diperkaya agar menyentuh keseluruhan kader, tidak melulu pelajar di madrasah, melainkan juga pelajar di sekolah-sekolah umum.

Ketiga, yang tak kalah pentingnya, IPNU dihadapkan pada simalakama antara idealisme IPNU dengan realitas politik yang melingkupinya. Dalam perjalanannya, idealitas peningkatan sumberdaya kader Nahdliyin sebagai ruh pendirian IPNU­ hampir selalu berada dalam satu tarikan nafas politik yang melingkupinya. Tarik-menarik antara idealitas IPNU sebagai organisasi kekaderan NU, dalam maknanya yang luas, dengan kecenderungan berpolitik praktis (baca: insting politik) elit-elit IPNU di tingkat lokal, regional, maupun nasional terus berlangsung sejak awal berdirinya hingga saat ini. Bahkan, pasca 1998, setelah PBNU menfasilitasi pendirian PKB, diakui atau tidak, konsentrasi kader IPNU juga banyak yang tersedot ke ranah politik praktis. Pada helat Pemilu beberapa waktu lalu misalnya, tak sedikit kader IPNU yang secara “agak genit” mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg). Bukan berarti bahwa politik selalu bermakna negatif, namun kecenderungan politis ini, diakui atau tidak, mengganggu konsentrasi kaderisasi. Paling tidak, ia melahirkan implikasi ganda. Di satu sisi, terjadi stagnasi organisasi. langkah-langkah reorientasi organisasi tetap berjalan, tetapi hanya bersifat simbolik dan superfisial, belum menyentuh kedalam substansinya. Di sisi lain, sebagai salah satu akibat menguatnya insting politik tersebut, program dan aktifitas IPNU lebih mencerminkan kebutuhan struktural daripada kebutuhan kelompok sasaran (target group). Tentu masih banyak tantangan IPNU yang semestinya mendorong para kadernya untuk segera berbenah, baik secara organisatoris maupun individual.

Selanjutnya, IPNU juga diperhadapkan pada masalah kepemudaan dan pelajar secara umum. Kita dapat membayangkan betapa kompleks persoalan pemuda yang harus direspon dan disikapi oleh IPNU. Membuat tabulasi betapa kompleksitas persoalan pelajar dan pemuda di tanah air, kiranya tak cukup dalam satu-dua jilid buku. Mari berhitung! Mulai dari maraknya kekerasan pelajar (tawuran), pergaulan bebas, pemakaian narkoba, dan masih banyak lainnya. Kesemuanya merupakan bentuk dari krisis eksistensi. Krisis eksistensi bukan persoalan sepele. Ia dapat terekspresikan dalam beragam bentuk penyimpangan perilaku.

Nah, celah inilah yang lantas dimanfaatkan oleh kaum radikalis Islam untuk merekrut mereka menjadi “pengantin” aksi-aksi terorisme. Perembesan ideologi radikal di tengah kaum pelajar ini tentu tak berbanding lurus dengan orientasi pembelajaran dan penataan pola pikir, perilaku dan sikap mental. Fenomena ini juga menjadi “pekerjaan rumah” bagi IPNU untuk menyadarkan mereka dengan pelbagai program konstruktif yang ada.

Organisasi Pembelajar dan Adaptasi Global
Serangkaian problem diatas akan mampu diatasi jika IPNU mampu memposisikan diri sebagai organisasi pembelajar (learning organization). Konsep organisasi pembelajar (OP) dipopulerkan oleh Peter Senge (1995) dalam the fifth dicipline. Organisasi pembelajar merepresentasi karakteristik yang kuat pada setiap anggota organisasi. Dalam organisasi pembelajar, yang diperlukan bukan hanya menghasilkan produk, tapi juga melakukan peningkatan dan terobosan-terobosan. Disini dibutuhkan pemahaman utuh tentang makna “pembelajaran”.

Secara substansial, pembelajaran pada intinya adalah menjadikan manusia menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dapat kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan.

Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pesan moral yang terkandung dalam salam kebanggaan warga IPNU, "Belajar, Berjuang, Bertaqwa". Bukankah dengan hal itu seorang manusia akan benar-benar menjadi manusiawi (humanis)? Dan bukankah salah satu raison d'tre IPNU adalah untuk mengisi "ruang kosong" system pendidikan, baik system pendidikan "sekular" (baca:sekolah umum) maupun agamis (baca: pesantren)?

Dalam perspektif inilah sebenarnya reorentasi dan reposisi itu harus dipahami. Artinya, ke depan, IPNU harus bisa mengisi "ruang kosong sistem pendidikan yang semakin kapitalistik dan cenderung menjadikan peserta didik menjadi "robot-robot" yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar.

IPNU juga harus mampu mengeliminir problem rendahnya relevansi dan alienasi sekolah (baca: pendidikan) dari kehidupan nyata. Salah satunya dilakukan dengan memposisikan diri menjadi pusat pembelajaran allternatif di tengah fenomena komersialisasi pendidikan yang semakin mempersempit kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Dalam konteks kekinian, reposisi dan reorientasi itu setidaknya harus didasarkan pada pembacaan terhadap tiga konteks makro berikut: pertama, tahun 2010 menjadi titik awal dari liberalisasi pasar di tingkat asia pasifik yang ditandai dengan diberlakunya ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Dengan diberlakunya ACFTA, tingkat kompetisi (competitiveness) di pasar kerja tingkat asia pasifik pun akan semakin ketat. Hanya individu yang mempunyai kualitas sumberdaya manusia (SDM) unggul yang akan memenangkan persaingan di pasar kerja tersebut.

Kedua, menghadapi situasi tersebut, sangat memprihatinkan tatkala kita menyaksikan bahwa hasil penelitian United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan indeks pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2009 masih berada diurutan ke-110 dari 173 negara yang diteliti. Dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya, posisi Indonesia jauh di bawah Filipina (peringkat ke-77), Thailand (peringkat ke-70), Malaysia (peringkat ke-59), Brunei. Darussalam (peringkat ke-32) dan singapura (peringkat ke-25). Yang harus dicatat, salah satu indikator HDI adalah tingkat pendidikan penduduknya.

Ketiga, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information And Communication Technology) menyebabkan semakin mudah dan akses informasi melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik (radio, televisi, VCD, internet). Hal ini berdampak pada menipisnya batas-batas kultural antar negara yang memunculkan sebuah "dunia tanpa batas" (Borderless Wold). Invasi kultural yang datang dari berbagai penjuru dunia, dalam beberapa atau banyak hal, tidak sesuai dengan kultur Nahdliyin.

Di sinilah skenario "jalan alternatif" menemukan relevansi dan urgensinya. Dunia berubah dengan cepat, tetapi sebagai organisasi, IPNU sangat lamban belajar (too slow), sangat sedikit belajar (too little), dan sangat terlambat belajar (too late). Selama beberapa dekade, IPNU sangat jarang melahirkan inovasi-inovasi yang mampu menjawab tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan kelompok sasarannya.

Formulasi Strategis
Nyatalah bahwa menjadikan IPNU sebagai organisasi pembelajar untuk menciptakan hadirnya masyarakat pembelajar (learning society) merupakan sebuah keniscayaan. Untuk itu, IPNU paling tidak harus mempunyai formula yang mampu mendorong diri sebagai wadah terciptanya kader paripurna dari kawah candradimuka organisasi pembelajar. Terdapat minimal lima formulasi strategis yang semestinya dijadikan acuan bagi perjalanan IPNU hingga tiga tahun kedepan.

Pertama, Penataan kelembagaan. Hal ini merupakan faktor kunci dalam penciptaan sinergi antara berbagai pelaku di internal organisasi. Selama ini, masih terdapat kesenjangan antara berbagai level yang menunjukkan tidak adanya standar sistem rekrutmen yang berakibat pada lemahnya control terhadap jalannya organisasi.

Kedua, Pengembangan Sistem kaderisasi. Harus diakui, selama satu setengah dekade terakhir kaderisasi yang dilaksanakan cenderung didesain sebagai strategi survival organisasi. Sebagai akibatnya, sistem kaderisasi yang dikembangkan tidak bisa menciptakan kritisisme dan kepekaan kader terhadap lingkungan sosial yang dihadapinya. Sebagai jawaban atas adanya kecenderungan untuk semakin bersikap rasional dan kritis, pengembangan sistem kaderisasi ke depan harus dilakukan untuk menjawab tuntutan tersebut.

Ketiga, Penciptaan Forum-forum pembelajaran Alternatif. Kebijakan Pendidikan nasional telah menyebabkan terjadinya proses dehumanisasi. Sistem pendidikan nasional telah menciptakan keterasingan peserta didik dari kehidupan nyata. Pendidikan yang semestinya berorientasi pada pengembangan nalar peserta didik dan pembentukan karakter telah berubah menjadi pembentukan manusia-manusia mekanik.

Keempat, Demokratisasi sistem pendidikan, kebijakan pendidikan selama ini hanya menjadikan peserta didik sebagai objek pendidikan yang tidak diberi kebebasan dan ruang partisipasi dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi diri sendiri. Salah satu wujud paling aktual adalah diberlakukannya aturan penyeragaman organisasi kepelajaran di tingkat sekolah yang tidak menghargai pluralitas latar belakang peserta didik.

Kelima, Pengembangan pola penggalian dana dan pengelolaannya agar dapat menjamin pembiayaan program organisasi yang memenuhi prinsip-prinsip Transparansi dan Akuntabilitas.

Pada akhirnya, tawaran konstruksi ide dan desain konseptual ini kiranya dapat menjadi sepercik air dingin yang mampu menghilangkan dahaga kita bersama di tengah kegersangan realitas sosial, agama, ekonomi dan politik yang kita hadapi saat ini. Kami berharap secuil gagasan ini dapat menggugah kesadaran kita, para kader pembelajar, agar mampu memajukan NU, bangsa dan agama, sesuai dengan semboyan organisasi yang kita cintai ini: “Belajar, Berjuang, dan Bertaqwa”. Wallahul Muawffiq ilaa Aqwamitthariq