Jumat, 30 Desember 2011

Menantikan Hybrid Culture Kaum Muda NU

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi masyarakat di Indonesia mempunyai massa yang terbanyak di Indonesia-mungkin juga di dunia. Kehadirannya sangat unik dan dinamis, sehingga seringkali ia dijadikan obyek penelitian atau kajian para pengamat sosial, politik, agamawan, baik dari luar negeri ataupun dari dalam.

Martin Van Bruinessen dengan bukunya NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarain Wacana Baru (LKiS.1994), Chirul Anam, Perkembangan dan pertumbuhan NU (1985), M. Haidar Ali dengan disertasinya, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqh DalamPolitik (1991), Kacung Marijan, Qou Vadis NU setelah Kembali Ke Khittah (1992), Mochtar Naim dengan tesisnya, The Nahdlatul Ulama as a Political Party, 1952-1955, an enquiry into the origins of its electoral succes (1960) Andree Feillard dengan disertasinya Islam et Armèe Dans L’indonésie Contemporaine Les Pionniers de la Tradition yang kemduian di terjemahkan oleh Lesmana kedalam bahasa Indonesia, NU Vis-a-Vis Negara, Pencarian Isi,Bentuk dan Makna (1999) dan beberapa buku-buku lainnya serta artikel-artikel yang tersebar hampir diseluruh media massa di tanah air, seperti Kompas, Surya, Kedaulatan Rakyat, Duta Masyarakat, Prisma, Aula dan lain-lain. Ada banyak keunikan dalam diri NU, sehingga ia menjadi perbincangan yang sangat menarik dikalang cendekiawan. 

Salah satunya adalah [pertama] bagaimana bisa NU tidak di didesain dan diorganisasi secara canggih bisamemliki massa terbanyak dan bisa eksis sampai sekarang. Kedua, adanya perkambangan menarik yang terjadi dalam diri NU, mulai sejak lahirnya sampai sekarang baik itu bersangkut paut dengan politik, ekonomi maupun agama.Ketiga, meskipun NU memiliki massa terbanyak namun sangat jarang ia memegang kendali dalam pentas nasional. Ada apa sebenarnya dengan NU. Hanya pada masa era reformasi, tokoh kontroversial NU tampil mejadi orang nomor satu di Indonesia, presiden. Dan beberapa keunikan NU lainnya. NU seringkali dinobatkan sebagai organisasi tradisional, konservatif dan ortodoks, karena masih berpegang kuat pada tradisi lokal dan masih mendasarkan paham keagamaannya pada salah satu empat Mazhab yaitu Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali pada bidang fiqh, dan menganut paham ahlussunnah wal-jama’ah (aswaja) yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi pada bidang aqidah (teologi) dan mengikuti aliran Imam Junaidi al-Bagdadi, Imam Ghazali dalam tasawuf (mistisisme). Anggapan semacam itu tidak selamanya benar dan juga tidak mesti salah.Secara normatif, NU memang tidak jauh berbeda dengan anggapan-anggapan diatas. Sebab NU dilahirkan oleh seorang Kiai atau ulama-ulama pesantren yang nota benenya bertempat tinggal dipedasaan dan cenderung tidak berpendidikan. Barangkali Kyai Hasyim Asy’ari dan pendiri-pendiri NU lainnya tidak pernah menyangka bahwa sebuah organisasi yang kemunculannya disebabkan fenomena internasional dan nasional ini bisa eksis sampai sekarang dan mempunyai massa terbesar. Namun kalau melihat perkembangan NU saat ini, khususnya kaum muda NU, seketika terheran-heran. Betapa NU yang dikenal sebagai organisasi tradisional, ternyata mengalami perkembangan yang sangat pesat. Geliat intelektual kaum muda NU cukup menjanjikan bagi NU kedepan. Dari aspek pemikiran barangkali tidak terlalu berlebihan kalau disebut liberal.

Pemikiran-pemikiran ulama-ulama muda NU sekarang berbeda -bahkan seringkali bertentangan–dengan tradisi NU masa lalu. Buku Kultur Hibrida, Anak Muda NU dijalur Kultural (LkiS.1999) memotret biogarafi dan pemikiran sembilan anak muda NU. Mencermati kesembilan anak muda NU yang tercover dalam buku, seakan-akan NU mengalami suatu genre yang disebut kultur Hibrida. Belum lagi anak-anak NU yang tergabung dalam LKiS di Yogyakarta seperi Jadul Maula, di ELSAD Surabaya seperti Anom Suryaputra, PMII, IPNU, IPPNU, KMNU di Mesir, P3M, Lakpesdam, bahkan juga di Jaringan Islam Liberal seperti Ulil Absar Abdallah yang beberapa bulan yang lalu tulisannya di Kompas (Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam), menjadi polemik dan pro-kontra diantara para agamawan dan mendapat fatwa mati. Dan beberapa organisasi atau peguyuban lainnya.

Kultur hibrid ini tidak hanya merujuk pada satu khazanah trasional keagamaan, tetapi bersifat elektik yang berasal dari beragam sumber. Ulama-Ulama muda NU tidak lagi berkutat pada tradisi islam klasik dan menekuni pelajaran-pelajaran pesantren, tetapi sudah mulai berani dan semakin gandrung akan pemikiran-pemikiran baru, mempelajari filsafat, bahasa bahkan seringkali tanpa rasa takut menolak pemikiran-pemikiran dan tradisi-tradisi para pendahulunya. Rujukan anak muda NU tidak hanya kitab kuning yang ditulis oleh ulama pada beberapa abad yang lalu, tetapi juga pemikiran-pemikiran kontemporer seperti M. Arkoun, Abed Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Syahrur, Hasan Hanafi, Karl Marx, Karl. Popper, Fatima Mernissi dan lain sebagainya.

Maenstrem pemikiran yang berkembang dikalangan muda NU berbeda dengan para kiai-kiai salaf. Karena itu, liberalisme pemikiran anak muda NU seringkali dituding kafir dan menyalahi tradisi NU oleh orang-orang tua NU. Perbedaan paham keagamaan antara ulama muda NU dengan ulama tua NU adalah wajar. Karena disamping referensi bacaanya sudah berbeda, juga cara menangkap realitas obyektif. Tepatnya perbedaan pemahaman ini sebagai konsekwensi dari berbedanya struktur berfikir antara yang tua dan muda di kalangan NU. Kalangan muda NU tidak hanya berfikir tentang fiqh, tasawuf. Lebih dari itu, diskusi-diskusi dikalangan muda NU (khususnya dikalangan PMII) -sebagaimana diakui oleh Martin van Bruinessen (1994)–akhir-akhir lebih menjurus pada keterbelakangan Dunia Ketiga, keadilan Ekonomi dan sosial, advokasi buruh dan petani, emansipasi wanita.
Gerakan-gerakan anak muda NU ini lebih diarahkan pada kesejahteraan sosial (mashlahat al-’ammah). Hadirnya anak muda NU yang cemerlang -menurut Hairus Salim HS & Muhammad Ridwan ada empat–ini didorong oleh beberapa hal. Pertama, akses pendidikan yang tinggi. Andree Feillard dalam salah satu penlitiannya yang dilakukan tahun 90-an menunjukkan -sebagai contoh-Gerakan Pemuda Ansor sebagai besar pernah mengikuti sekolah umum. Mereka pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi: 40 % di perguruan tinggi Islam (IAIN) dan 54 % di perguruan tinggi umum. Sisanya dalah mereka yang pernah kuliah di kedua macam perguruan tinggi. Beberapa diantara mereka pada umumnya belajar di madrasah, kemudian melanjutkan kesekolah umum.( Andree Feillard.1999, hlm 364).

Dengan semakin tinggi persentuhannya dengan dunia pendidikan, semakintinggi pula khazanah keilmuan yang dimiliki. Kedua, kekayaan tradisi intelektual. Disamping anak muda NU paham tentang khazanah islam klasik yang didapat dipondok-pondok pesantren, juga mendalami ilmu-ilmu diluar itu. Dengan tidak tercerabut dari akar tradisinya, mereka sangat intens melakukan kritik kemasyarakatan dan mengawinkan kosa pengentahuan baru dengan khazanah tradisis mereka. Ketiga, pengaruh Gus Dur, Masdar F. Mas’udi. Gus Dur dengan gagasan pribumisasi islam-nya, tidak saja menghentakkan kalangan tua untuk melakukan kritik, tetapi juga anak muda NU untuk menganalisis. Meskipun Gus Dur sering dihakimi oleh kiai-kian tua pesantren karena pemikiran kontroversialnya, namun memberikan kontribusi besar bagi perkembangan khazanah NU selanjutnya. Keempat, marginalisasi ekonomi-politik. Perlu di ketahui bahwa dalam sejarahnya NU seringkali -untuk tidak mengatakan senantiasa-dimarginalkan oleh suartu rezim. Orde Baru yang palinmg getol menempatkan NU secara periferal. Tidak jarang sikap oposisi NU dengan pemerintah menyebabkan NU melahirkan subordinasi dan diskriminasi terhadap NU. Kenyataan sejarah inilah yang barangkali menjadi cambuk kalangan muda untuk bangkit dengan seperangkat pengetahuan yang dimilikinya.(Hairus Salim[ed] 1999 hlm 9-13)

Kelima, semakin luasnya askes pengetahuan sebagai akibat dari tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan oleh era reformasi. Perubahan ini baik secara langsung atau tidak mempunyai dampak bagi perkembangan intelelektual Indonesia umumnya, dan kalangan muda NU pada khususnya. Keenam, berkat kemajuan teknologi seperti internet, telepon, komputer dan lain,lain, arus transformasi dan informasi sangat deras dalam mana sistem identitas antar bangsa tidak lagi dijembatani oleh simbul-simbul georafis, etnik, lokalitas, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan akan cepat diakses diseluruh dunia. Karena itulah, label NU yang konservatif barangkali kurang tepat manakala mencermati perkembangan NU akhir-akhir ini, khususnya anak muda NU.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana kultur hibrida (hybrid culture) ulama muda NU ini bisa mewarnai dan menjadi bagi dari NU itu sendiri, tidak terpisahkan. Meskipun mereka terkadang menyimpang dari tradisi NU-nya, mereka harus diakui dan diakomodir oleh NU dengan segala konsekwensinya. Kalau mereka ditolak oleh NU, maka anak-anak muda NU itu akan lepas. Akantetapi, kalau mereka di terima oleh NU, maka spektrum NU akan semakin luas dan sangat menarik (AS. Hikam dalam Hairus (ed), hlm 261). Pekrmbangan anak muda NU ini harus diperhatikan secara khusus, sebab disamping mereka mempunyai khazanah yang sangat luas juga mereka sangat rentan untuk keluar
 
Akan tetapi, hal yang patut disayangkan adalah tidak terorganisirnya kalangan muda NU secara baik dan rapi. Anak-anak muda NU banyak bertebaran dan terpencar-pencar di beberapa organisasi, LSM yang kadangkala tidak mempunyai afiliasi sama sekali dengan NU, kalau tidak bermusuhan. NU seakandari tradisi NU-nya. Cukup banyak anak muda NU yang tidak lagi mempunyai sense of belonging pada NU, karena mereka tidak diperhatikan oleh NU. Padatitik inilah NU harus cerdas dalam mengakomodir segala kemampuan anak mudanya.

tak cukup menjadi wadah untuk menampung banyaknya potensi anak muda atau memang mereka tidak mempunyai perhatian khusus, sehingga tidak mau bergabung ddengan NU.
Terpencar-pencarnya kalangan muda NU ini sebenarnya mempunyai disamping dampak negatif, juga dampak positif. Sisi positifnya adalah fleksibelitas (kalangan) NU, sehingga ia bisa masuk dalam organisasi-organisasi manapun. Namun, tentu sisi negatifnya lebih banyak. Setidak-tidaknya ada beberapa sisi negatif. Pertama, tidak tertampungnya kemampuan anak-anak muda NU dalam diri NU, sehingga NU akan tetap nampak semula, statis.

Kedua, sebagai regenerasi NU, anak mudalah yang akan melanjutkan dan menggantikan generasi tua (sesepuh) NU. Anak muda NU akan menjadi benteng bagi perkembangan NU selanjutnya. Ketika waktu mereka dihabiskan diluar NU, maka stagnasi NU -kalau tidak kehancurannya– ditunggu dalam hitungan hari dan tahun. Ketiga, yang berkembang pesat justru organisasi-organisasi selain NU. Keempat, sebagai anak muda yang mempunyai tradisi berbeda akan menjadi persoalan bagi kalangan tua, begitu pula sebaliknya. Anak muda mengganggap sesepuh NU tidak pandai, sudah waktunya memikirkan mati dengan memperbanyak dzikir kepada Allah. Sementara, kalangan tua akan mengganggap anak muda masih belum cukup umur, atau –lebih halusnya-kapabilitas yang dimilikinya masih kurang mumpuni.

Jika hal ini yang terjadi maka serang-menyerang antara kelompok tua dan muda tidak akan bisa dihindari. Untuk menyikapi dan menghindari “pertengkaran” diantara keduanya adalah sikap arif. Orang tua harus bisa memberikan ruang kreativitas bagi anak mudanya dan tidak mengganggap remeh terhadapnya. Sementara anak muda NU juga harus arif dalam memandang orang tua. seseorang hidup dalam zamannya. Sikap arif dalam menengahi antara keduanya sangat diperlukan untuk menghindari adanya clash baik pada tataran ide maupun pada tingkat praksis. Contoh yang sangat konkrit adalah pertengkaran antara kalangan tua dan muda di bahtsul masa’il. Tidak jarang orang tua mengganggap kafir bagi kalangan muda -atau lainnya-ketika anak-anak muda tidak lagi berpegang pada aturan fiqh dan menjadikan ushul fiqh atau disiplin ilmu lainnya sebagai pijakan, sementara kalangan tua masih berpegang kuat pada tradisi fiqhnya. Adu argumentasi dan klaim kebenaran tak terelakkan lagi, Ironisnya, tidak jarang perdebatan dalam forum berlanjut diluar forum bahkan pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.

Penulis pernah mengamati langsung tradisi bahstul masa’il di Situbondo yang tidak mencerminkan sikap kedewasaan dan keterbukaan dalam berbahstul masail ‘Ala kulli hal, perkembangan NU kedepan akan semakin menarik manakala bisa mengakomodir kalangan mudanya, tanpa mengesampingkan orang-orang tua NU. Sepatutnya orang tua NU menjadi penasehat dan sang pemberi mau’idah kepada kalangan mudanya. Sementara anak muda harus bisa menerima secara kritis dan rasional terhadap saran orang tua. Tepatnya, perlunya pembagian ruang secara proporsional dan profesional. Misalnya para kiai-kiai yang tidak memiliki sense politik, seyognyanya tidak ikut campur dalam hal politik. Ssalah satu penyebab kekalangan NU dan pentas politik adalah menempatkan orang-orang yang a-politis pada salah satu jabatan yang sangat berbau politik, seperti PKB. Sebab logika politik sama sekali berbeda dengan logika yang dipakai didalam -misalnya-fiqh atau ilmu agama. Disinilah penulis perlu mengucapkan terima kasih, karena ternyata NU sudah mulai memperhatikan anak mudanya dan bisa menempatkan orang-orangnya padatempat yang semenstinya, walaupun masih belum maksimal.

1 komentar: