Oleh : Abah KH. Hasyim Muzadi
Pertama kali yang terpenting, IPNU harus kembali pada habitat, fitrah dan identitasnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang keilmuan, pengabdian dan latihan kepemimpinan
untuk masa depan. Inilah habitat IPNU yang sesungguhnya. Dan, keputusan
Kongres XIV IPNU di Surabaya untuk mengembalikan IPNU sebagai
organisasi pelajar adalah keputusan yang tepat. Oleh karenanya harus
dibangun komitmen untuk menjadikan IPNU sebagai penunjang prestasi
ilmiah. Sebaliknya, jangan beralasan karena menjadi aktivis IPNU,
belajar sebagai tugas anak muda justru terkesampingkan. IPNU semestinya
menjadi lambang prestasi keilmuan. Untuk itu tugas kita saat ini adalah
bagaimana membuat IPNU untuk menjadi komunitas belajar (learning community) yang menunjang bagi proses pengembangan keilmuan. Karena itulah IPNU harus menyediakan perangkat dan sektor keilmuan.
Pengembangan-pengembangan
IPNU tidak cukup hanya dengan mengunakan isu-isu ideologis. Jika
tema-tema ideologis yang dikedepankan, maka IPNU hanya akan terbatas
pada anak-anak NU dan semakin hari semakin menyempit. Hal ini karena
tidak semua anak-anak orang NU masuk IPNU, mungkin tidak minat karena
IPNU tidak menjanjikan apa-apa.
Keilmuan
dapat diklasifikasikan pada dua ranah; yaitu keilmuan disipliner di
mana kader IPNU belajar dan sekolah; dan keilmuan keagamaan visioner.
Yang disebut terakhir berarti bagaimana agar kader-kader IPNU dapat juga
mewarisi cara berpikir keagamaan Nahdlatul Ulama.
Tidak hanya mewarisi format organisasinya. Hal ini menjadi penting agar
tidak terjadi kegagalan-kegagalan sebagaimana organisasi Islam yang
hanya berbentuk format kepemimpinan, tetapi ideologinya hilang.
Organisasi model seperti inilah yang sering melahirkan koruptor. Dengan
begitu, maka Islam tidak lagi bisa menjadi filter dari tindakan-tindakan
amoral.
Oleh
karena itu harus diupayakan bagaimana khasanah pemikiran, pengamalan
agama serta tata hubungan agama dengan masyarakat dan negara yang sudah
menjadi budaya keagamaan kita, terwariskan secara baik. Saya sadar hal
ini mtidak mudah untuk dilakukan. Bahakan NU sendiri belum tentu mampu
mewariskan secara baik, karena beberapa faktor.
Pertama, pesantren-pesantren yang dijamin berfikir Sunni
belum tentu berwawasan luas, sehingga ilmunya menggenang untuk diri
sendiri. Oleh karena itu diperlukan ilmu-ilmu suplemen atau ilmu-ilmu
bantu untuk mengalirkan ilmu pesantren salafiyahnya itu. Sekarang
anak-anak muda sudah bisa membaca kitab-kitab kuning besar seperti Ihya ’Ulumuddin. Namun mereka tidak bisa bercerita apa-apa tentang kitab itu kepada komunitas lain. Akhirnya hak miliknya menggenang.
Kedua, para komentator agama lebih menguasai bibliotik agama daripada materi agama. Tulisan-tulisan
tentang Al-Ghozali misalnya, sebenarnya adalah komentar, bukan materi
agamanya. Jadi, yang punya ilmu tidak bisa memasarkan, dan yang
menguasai pasaran tidak punya barang. Kalau kondisi ini berjalan dalam
tempo berdekade-dekade, maka imamatul ulama
dalam arti ilmiah akan selesai. Bahkan tidak mungkin lagi dari
Indonesia tumbuh ulama yang berkaliber internasional, karena alat prosessing-nya tidak ada.
Fenomena
ini tidak hanya melanda IPNU, melainkan juga generasi Islam pada ormas
yang lain. Keadaan Muhammadiyah lebih berat dari kita dalam hal ini. Hal
ini karena Muhammadiyah tidak memilik alat processing untuk menjamin
kemuhammadiyahan generasi selanjutnya. SMP, SMA, universitas adalah public service dan public utility, bukan rule of ideology. Akhirnya
generasi NU dan generasi Muhammadiyah adalah generasi yang sama-sama
tidak paham tentang masalah keilmuan agamanya. Dulu, kalau ulama NU dan
Muhammadiyah sekalipun beda tapi rukun, seperti Kyai Idham Kholid dengan
Bapak Hamka, karena mereka sama-sama mengerti. Tapi celakanya, sekarang
antara NU dan Muhammadiyah juga rukun karena sama-sama tidak
mengertinya.
Hal
ini saya minta diperhatikan oleh IPNU yang sejak semula dilahirkan
untuk cita-cita ini, yaitu bagaimana mewawasankan ilmu salaf yang
menggenang dan mengisi intelektual dengan materi agama. Bukan hanya
informasi agama, melinkan juga amaliyyah dan karakter agama.
Selain
itu kader IPNU hendaknya sadar bahwa pada era sekarang orang tidak bisa
ditarik melalui dogma atau paradigma. Hal ini karena sudah kuatnya
sekulerisasi keadaan dan pragmatisasi masyarakat. Kalau ingin menarik mereka harus melalui kepentingan mereka.
Kalau IPNU merekrut anggota dengan sekedar menyodorkan nama, maka hanya
anak orang NU yang terjaring. Namun kalau IPNU menyediakan bimbingan belajar yang berkualitas misalnya, maka akan menarik banyak kalangan pelajar, bahkan bukan hanya pelajar keturunan NU.
Melalui
pengabdianlah IPNU akan besar dan sebaliknya dengan kristalisasi dan
kontradiksi sosial, IPNU akan semakin kecil. Ini adalah hukum sosiometri
(gejala sosiologi yang hampir bisa dipastikan). Sementara gerakan
radikal tidak pernah bisa besar, karena mainstream mayoritas tidak
mungkin diajak radikal. Yang mungkin adalah diperhatikan
kepentinngannya. Karena itulah gerakan radikal akan selalu berubah
menjadi gerakan militan. Dan militan pasti minoritas aktif (active minority) bukan silent majority.
Kongkretnya, IPNU sudah semestinya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengabdian yang rohmatan lil ’alamin.
Itulah jaring untuk merekrut kader muda terpelajar. Banyaknya anak-anak
muda NU yang masuk organisasi lain, karena organisasi kepemudaan NU
tidak bisa menyajikan pengabdian yang memadai. Pengabdian itu bisa
berupa pelatihan, orientasi
dan lain sebagainya. Melihat kecenderungan seperti ini kita tidak perlu
marah, justru harus introspeksi untuk selanjutnya menandinginya dengan
tindakan yang lebih baik. Nahdlatul Ulama selalu kalah karena semua
gerakannya by accident, tidak ada yang diselenggarakan by design. Setiap kegiatan dilakukan hanya karena ketepatan-ketepatan. Karena itulah kegiatannya tidak memiliki frame yang jelas.
Nah,
kalau pengabdian sudah ada, kita mulai meningkat pada latihan
kepemimpinan. Latihan kepemimpinan ini tidak cukup dengan orientasi
kepemimpinan. MAKESTA, LAKMUD dan lain-lain adalah orientasi
kepemimpinan, belum menjadi pelatihan kepemimpinan. Setiap pemimpin
dicetak melalui latihan. Pelatihan yang dimaksud bisa berarti pelatihan
formal yang difasilitasi oleh fasilitator, namun yang jauh lebih penting
adalah latihan langsung dengan peran-peran alamiah.
Orientasi kepemimpinan tetap diperlukan, tetapi peluang untuk beraksi
dengan belajar di lapangan sebagai pemimpin juga harus disediakan.
Namun
kepemimpinan ini jangan dibatasi pada kepemimpinan NU dan kepemimpinan
politik, tapi juga kepemimpinan sosial pada gerakan disipliner atau
interdisipliner sesuai dengan habitat keilmuannya masing-masing. Tidak
mungkin kader IPNU yang demikian banyak akan menjadi pemimpin NU semua.
Hal ini bisa dijembatani dengan memberi peluang pada kader IPNU untuk
ditempatkan pada kepengurusan NU maupun lembaga-lembaganya di setiap
tingkatan, baik di wilayah, cabang, MWC dan ranting. Peluang ini sudah
semestinya diberikan sebagai wahana belajar kepemimpinan yang tidak lagi
orientatif, melainkan sudah bersifat aksi. Tidak hanya itu, latihan aksi kepemimpinan ini juga bisa dilakukan dalam kepengurusan partai politik.
Hal
ini menjadi agenda panting karena IPNU adalah “anak” NU yang paling
memungkinkan untuk ditata. Berbeda dengan GP Ansor yang beranggotakan
massa yang sudah tidak lagi berada pada satu level kepemimpinan yang
seragam dan level pengetahuan dan pemikiran yang setingkat. Sebagaimana
NU, GP Ansor sudah berhadapan dengan real community
(masyarakat riil) yang heterogen. Sedangkan IPNU terdiri dari kader
yang relatif homogen dalam level pemikiran. Dengan level tertentu ini
maka IPNU dapat dibentuk untuk melakukan sikap yang sama terhadap sebuah
fenomena.
Kepemimpinan
IPNU yang saya maksud di atas mungkin bisa dalam ranah politik atau
dalam dalam ranah disipliner. Jika kita memiliki ketrampilan tertentu
dan berada di tempat tertentu, dengan didukung oleh jiwa kepemimpinan,
maka kita dapat memimpin di tempat kita masing-masing. Kita tidak
saatnya memaksakan diri untuk ngumpul semua di NU atau di partai
politik. Karena kekuatan partai adalah kekuatan formalistik, sementara
kekuatan masyarakat adalah kekuatan substansialistik.Dengan
demikian IPNU akan mempunyai prospek masa depan atau tidak, tidak
tergantung pada orang lain, melainkan tergantung pada kita. Tugas besar
kader IPNU saat ini adalah mencari kembali formulasi gerakan untuk
mengembangkan organisasi setelah menentukan pilihan untuk “kembali ke
pelajar” dalam Kongres XVI di Surabaya. Selaku Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, kami memberi penghargaan sedalam-dalamnya atas penerbitan buku
ini sebagai salah satu upaya untuk mencari arah baru gerakan pelajar NU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar