Jumat, 30 Desember 2011

Mereformulasi Gerakan IPNU sebagai Organisasi Kader Berbasis Keilmuan


Oleh : Abah KH. Hasyim Muzadi

Pertama kali yang terpenting, IPNU harus kembali pada habitat, fitrah dan identitasnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang keilmuan, pengabdian dan latihan kepemimpinan untuk masa depan. Inilah habitat IPNU yang sesungguhnya. Dan, keputusan Kongres XIV IPNU di Surabaya untuk mengembalikan IPNU sebagai organisasi pelajar adalah keputusan yang tepat. Oleh karenanya harus dibangun komitmen untuk menjadikan IPNU sebagai penunjang prestasi ilmiah. Sebaliknya, jangan beralasan karena menjadi aktivis IPNU, belajar sebagai tugas anak muda justru terkesampingkan. IPNU semestinya menjadi lambang prestasi keilmuan. Untuk itu tugas kita saat ini adalah bagaimana membuat IPNU untuk menjadi komunitas belajar (learning community) yang menunjang bagi proses pengembangan keilmuan. Karena itulah IPNU harus menyediakan perangkat dan sektor keilmuan.
Pengembangan-pengembangan IPNU tidak cukup hanya dengan mengunakan isu-isu ideologis. Jika tema-tema ideologis yang dikedepankan, maka IPNU hanya akan terbatas pada anak-anak NU dan semakin hari semakin menyempit. Hal ini karena tidak semua anak-anak orang NU masuk IPNU, mungkin tidak minat karena IPNU tidak menjanjikan apa-apa.
Keilmuan dapat diklasifikasikan pada dua ranah; yaitu keilmuan disipliner di mana kader IPNU belajar dan sekolah; dan keilmuan keagamaan visioner. Yang disebut terakhir berarti bagaimana agar kader-kader IPNU dapat juga mewarisi cara berpikir keagamaan Nahdlatul Ulama. Tidak hanya mewarisi format organisasinya. Hal ini menjadi penting agar tidak terjadi kegagalan-kegagalan sebagaimana organisasi Islam yang hanya berbentuk format kepemimpinan, tetapi ideologinya hilang. Organisasi model seperti inilah yang sering melahirkan koruptor. Dengan begitu, maka Islam tidak lagi bisa menjadi filter dari tindakan-tindakan amoral.
Oleh karena itu harus diupayakan bagaimana khasanah pemikiran, pengamalan agama serta tata hubungan agama dengan masyarakat dan negara yang sudah menjadi budaya keagamaan kita, terwariskan secara baik. Saya sadar hal ini mtidak mudah untuk dilakukan. Bahakan NU sendiri belum tentu mampu mewariskan secara baik, karena beberapa faktor.
Pertama, pesantren-pesantren yang dijamin berfikir Sunni belum tentu berwawasan luas, sehingga ilmunya menggenang untuk diri sendiri. Oleh karena itu diperlukan ilmu-ilmu suplemen atau ilmu-ilmu bantu untuk mengalirkan ilmu pesantren salafiyahnya itu. Sekarang anak-anak muda sudah bisa membaca kitab-kitab kuning besar seperti Ihya ’Ulumuddin. Namun mereka tidak bisa bercerita apa-apa tentang kitab itu kepada komunitas lain. Akhirnya hak miliknya menggenang.
Kedua, para komentator agama lebih menguasai bibliotik agama daripada materi agama. Tulisan-tulisan tentang Al-Ghozali misalnya, sebenarnya adalah komentar, bukan materi agamanya. Jadi, yang punya ilmu tidak bisa memasarkan, dan yang menguasai pasaran tidak punya barang. Kalau kondisi ini berjalan dalam tempo berdekade-dekade, maka imamatul ulama dalam arti ilmiah akan selesai. Bahkan tidak mungkin lagi dari Indonesia tumbuh ulama yang berkaliber internasional, karena alat prosessing-nya tidak ada.
Fenomena ini tidak hanya melanda IPNU, melainkan juga generasi Islam pada ormas yang lain. Keadaan Muhammadiyah lebih berat dari kita dalam hal ini. Hal ini karena Muhammadiyah tidak memilik alat processing untuk menjamin kemuhammadiyahan generasi selanjutnya. SMP, SMA, universitas adalah public service dan public utility, bukan rule of ideology. Akhirnya generasi NU dan generasi Muhammadiyah adalah generasi yang sama-sama tidak paham tentang masalah keilmuan agamanya. Dulu, kalau ulama NU dan Muhammadiyah sekalipun beda tapi rukun, seperti Kyai Idham Kholid dengan Bapak Hamka, karena mereka sama-sama mengerti. Tapi celakanya, sekarang antara NU dan Muhammadiyah juga rukun karena sama-sama tidak mengertinya.
Hal ini saya minta diperhatikan oleh IPNU yang sejak semula dilahirkan untuk cita-cita ini, yaitu bagaimana mewawasankan ilmu salaf yang menggenang dan mengisi intelektual dengan materi agama. Bukan hanya informasi agama, melinkan juga amaliyyah dan karakter agama.
Selain itu kader IPNU hendaknya sadar bahwa pada era sekarang orang tidak bisa ditarik melalui dogma atau paradigma. Hal ini karena sudah kuatnya sekulerisasi keadaan  dan pragmatisasi masyarakat. Kalau ingin menarik mereka harus melalui kepentingan mereka. Kalau IPNU merekrut anggota dengan sekedar menyodorkan nama, maka hanya anak orang NU yang terjaring. Namun kalau IPNU menyediakan bimbingan belajar yang berkualitas misalnya, maka akan menarik banyak kalangan pelajar, bahkan bukan hanya pelajar keturunan NU.
Melalui pengabdianlah IPNU akan besar dan sebaliknya dengan kristalisasi dan kontradiksi sosial, IPNU akan semakin kecil. Ini adalah hukum sosiometri (gejala sosiologi yang hampir bisa dipastikan). Sementara gerakan radikal tidak pernah bisa besar, karena mainstream mayoritas tidak mungkin diajak radikal. Yang mungkin adalah diperhatikan kepentinngannya. Karena itulah gerakan radikal akan selalu berubah menjadi gerakan militan. Dan militan pasti minoritas aktif (active minority) bukan silent majority.
Kongkretnya, IPNU sudah semestinya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengabdian yang rohmatan lil ’alamin. Itulah jaring untuk merekrut kader muda terpelajar. Banyaknya anak-anak muda NU yang masuk organisasi lain, karena organisasi kepemudaan NU tidak bisa menyajikan pengabdian yang memadai. Pengabdian itu bisa berupa pelatihan, orientasi dan lain sebagainya. Melihat kecenderungan seperti ini kita tidak perlu marah, justru harus introspeksi untuk selanjutnya menandinginya dengan tindakan yang lebih baik. Nahdlatul Ulama selalu kalah karena semua gerakannya by accident, tidak ada yang diselenggarakan by design. Setiap kegiatan dilakukan hanya karena ketepatan-ketepatan. Karena itulah kegiatannya tidak memiliki frame yang jelas.
Nah, kalau pengabdian sudah ada, kita mulai meningkat pada latihan kepemimpinan. Latihan kepemimpinan ini tidak cukup dengan orientasi kepemimpinan. MAKESTA, LAKMUD dan lain-lain adalah orientasi kepemimpinan, belum menjadi pelatihan kepemimpinan. Setiap pemimpin dicetak melalui latihan. Pelatihan yang dimaksud bisa berarti pelatihan formal yang difasilitasi oleh fasilitator, namun yang jauh lebih penting adalah latihan langsung dengan peran-peran alamiah. Orientasi kepemimpinan tetap diperlukan, tetapi peluang untuk beraksi dengan belajar di lapangan sebagai pemimpin juga harus disediakan.
Namun kepemimpinan ini jangan dibatasi pada kepemimpinan NU dan kepemimpinan politik, tapi juga kepemimpinan sosial pada gerakan disipliner atau interdisipliner sesuai dengan habitat keilmuannya masing-masing. Tidak mungkin kader IPNU yang demikian banyak akan menjadi pemimpin NU semua. Hal ini bisa dijembatani dengan memberi peluang pada kader IPNU untuk ditempatkan pada kepengurusan NU maupun lembaga-lembaganya di setiap tingkatan, baik di wilayah, cabang, MWC dan ranting. Peluang ini sudah semestinya diberikan sebagai wahana belajar kepemimpinan yang tidak lagi orientatif, melainkan sudah  bersifat aksi. Tidak hanya itu, latihan aksi kepemimpinan ini juga bisa dilakukan dalam kepengurusan partai politik.
Hal ini menjadi agenda panting karena IPNU adalah “anak” NU yang paling memungkinkan untuk ditata. Berbeda dengan GP Ansor yang beranggotakan massa yang sudah tidak lagi berada pada satu level kepemimpinan yang seragam dan level pengetahuan dan pemikiran yang setingkat. Sebagaimana NU, GP Ansor sudah berhadapan dengan real community (masyarakat riil) yang heterogen. Sedangkan IPNU terdiri dari kader yang relatif homogen dalam level pemikiran. Dengan level tertentu ini maka IPNU dapat dibentuk untuk melakukan sikap yang sama terhadap sebuah fenomena.
Kepemimpinan IPNU yang saya maksud di atas mungkin bisa dalam ranah politik atau dalam dalam ranah disipliner. Jika kita memiliki ketrampilan tertentu dan berada di tempat tertentu, dengan didukung oleh jiwa kepemimpinan, maka kita dapat memimpin di tempat kita masing-masing. Kita tidak saatnya memaksakan diri untuk ngumpul semua di NU atau di partai politik. Karena kekuatan partai adalah kekuatan formalistik, sementara kekuatan masyarakat adalah kekuatan substansialistik.Dengan demikian IPNU akan mempunyai prospek masa depan atau tidak, tidak tergantung pada orang lain, melainkan tergantung pada kita. Tugas besar kader IPNU saat ini adalah mencari kembali formulasi gerakan untuk mengembangkan organisasi setelah menentukan pilihan untuk “kembali ke pelajar” dalam Kongres XVI di Surabaya. Selaku Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, kami memberi penghargaan sedalam-dalamnya atas penerbitan buku ini sebagai salah satu upaya untuk mencari arah baru gerakan pelajar NU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar