Sabtu, 24 Desember 2011

IPNU : “Oase” Pemberdayaan Pelajar NU



Urgensi Repositioning IPNU di Dunia Pelajar
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) setelah melakukan perubahan nama dari “Putra” ke “Pelajar” mempunyai implikasi yang cukup dalam. Terutama dari aspek garapan dan pengelolaan kelembagaan. Pada kongres tahun 2000 di Makassar lahir keputusan-keputusan strategis dan taktis. Salah satunya adalah keputusan  yang menyangkut peneguhan eksistensi kepelajaran dalam tubuh organisasi dengan Deklarasi Makassar-nya. IPNU yang sejak Kongres Jombang berkepanjangan "Ikatan Putra Nahdlatul Ulama" dikembalikan lagi sesuai khittah organisasi menjadi "Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama". Dan Komitmen kepelajaran tersebut ditegaskan kembali di Kongres IPNU XVI IPNU di Brebes Jateng kemarin dengan menghasilkan beberapa langkah-langkah pengembangan strategis ke arah itu.
Hasil yang sangat menarik dari ketergugahan pada kongres 23-26 Maret 2000 di atas, adalah terdorongnya peserta kongres berikutnya, kongres ke-14 IPNU di Surabaya pada Maret 2003, untuk merubah singkatan putra pada IPNU menjadi pelajar. Jelas menunjukkan adanya koherensi produktif di saat awal lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, untuk berkomitmen dalam bidang pendidikan. 
IPNU menjadi "Ikatan Pelajar" adalah kebutuhan, bahkan kebutuhan itu sudah tak dapat ditawar-tawar lagi, mengingat kelompok pelajar dan santri saat ini hampir tak terkendali dengan munculnya fenomena narkoba, video porno, free sex, tawuran pelajar, kenakalan remaja, fundamentalisme pelajar, dan bahkan fenomena anti agama! Kalau IPNU tidak kembali kepada mereka, mereka akan semakin tak terkendali.
Kini, setelah tujuh tahun kongres di Surabaya dan belum lama kemarin kongres IPNU di Brebes berakhir, IPNU secara serentak perlu menegaskan jati dirinya kembali sebagai basis pengembangan kepelajaran dan santri ataukah sekadar adagium "antara ada dan tiada". Saya  mengemukakan hal ini dengan maksud agar hal itu dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kalangan IPNU. Haruskah usia yang menua lebih dari 58 tahun, hanya akan menjadi strategi pengembangan secara kultural dari praktik subaltern? Yaitu refleksi asal-asalan dalam ritual perbincangan santai tanpa rumusan aplikatif.
Memperdebatkan hal diatas memang harus, akan tetapi hasil yang diharapkan tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Sambil menunggu proses, kesadaran akan fungsi organisasi kiranya menjadi solusi atas problem diatas. Ya!!! Mencurahkan seluruh potensi yang ada di organisasi untuk lebih fokus ke pelajar dan santri saya kira pilihan rasional.
Pergeseran akronim “P" dari pemuda menjadi pelajar sedikit banyak berimplikasi terhadap lahan garapan IPNU yang kembali ke khittahnya untuk lebih konsen terhadap pelajar. Lagi-lagi IPNU tidak memiliki bargaining yang kuat untuk menawarkan diri menjadi rumah kedua bagi pelajar muda NU khususnya. IPNU yang seharusnya tumbuh berkembang di lingkungan sekolah dan pesantren sebagai basisnya terasa kurang ada gairah. Belum lagi militansi anggota IPNU yang masih setengah-setengah dalam membaur dan beradaptasi di lingkungan IPNU dan NU sehingga sulit untuk dapat mengembangkan IPNU secara utuh.
Pergeseran makna juga menjadi sebuah dilema bagi IPNU. Penanaman doktrin aswaja di lingkungan pelajar muda saat ini sangat terbatas kalah saing dengan modernitas dan weternisasi. Akibatnya calon kader-kader muda hanya mempunyai loyalitas yang minim terhadap aqidah ahlussunnah wal jamaah. Dua hal lagi yang paling urgen adalah tata manajemen dan keuangan organisasi yang sangat minim, membuat gerakan IPNU seolah jalan di tempat.
Sisi-sisi kekurangan IPNU yang seharusnya menjadikan kita makin keras untuk belajar, berjuang, bertaqwa. Meskipun tidak memungkiri begitu banyak prestasi yang telah di raih IPNU, dan kita patut bangga menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari sebuah organisasi NU ini.

Sebuah Tawaran Konsep Pemberdayaan kader
Beberapa waktu yang lalu diberitakan ada sebuah pesantren tradisional di Jawa Timur. Di salah satu sisi pesantren, terdapat gedung megah empat lantai, ruangan ber AC, komputerisasi, dan terdapat fasilitas WiFi. Mereka menyebut gedung tersebut Kantor Pelayanan Terpadu. Di dalamnya dikendalikan 15 media terbitan lokal, 85 koperasi yang tersebar di Jawa, 150 sekolah fillial se Jawa, 45 asosiasi se Indonesia, dan lainnya. Di sisi kanan terdapat gedung dalam taraf penyelesaian dengan  nilai Rp. 4 Miliar, dan mereka menyebut, “Balai Santri Profesional. Dari sini akan lahir percepatan kelahiran santri profesional di bidang ekonomi.”
Dunia masa depan adalah dunia yang berkehidupan di atas landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan dasar masyarakat sudah bertambah, yaitu kecepatan akses informasi yang berimplikasi pada ruang dan waktu yang semakin sempit, singkat, sekaligus dunia yang semakin mengglobal. Teknologi telah menjadi landasan pergerakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.
IPNU telah bertahan di Indonesia lebih dari setengah abad. Artinya, IPNU telah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. IPNU sebagai budaya mampu lestari karena ia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu para anggotanya. Sampai berapa jauh suatu kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan, itulah yang akhirnya menentukan suksesnya. Sebaliknya,  “sukses” IPNU diukur dengan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri dan bukan dengan sesuatu dari luar. Lantas seberapa jauh militansi anggota IPNU terhadap kebudayaannya tergantung proses penumbuhan kebudayaan tersebut.
Pada kesempatan ini saya menggagas metode pemberdayaan kader IPNU yang menjanjikan militansi mendasar pada konsep, khairunnas anfa’uhum linnas, dalam konteks ini artinya: “sebaik-baik organisasi adalah yang mampu memberikan manfaat kepada anggotanya.”
Pertama, fasilitasi Pendidikan. Pemberdayaan kader IPNU harus memberi porsi lebih besar terhadap fasilitasi pendidikan, pencerahan, dan kata sejenisnya yang mengarah pada prestasi personal. IPNU saat ini tidak pada tahap “bertahan hidup”, tapi pada tahap proses dan aktivitas untuk kelangsungan hidup. Pendidikan, pelatihan adalah alat utama keberlangsungan hidup setiap manusia, dan IPNU perlu memberikan fasilitas atas kebutuhan dasar tersebut.
Kedua, Fasilitasi  Akses/Network. IPNU perlu memberikan akses seluas-luasnya bagi personal yang sedang mengalami proses pengembangan kapasitas diri. Kekuatan akses IPNU perlu didistribusikan kepada individu-individu untuk mengurangi tekanan persoalannya.  Mengingat jika terjadi ketidakseimbangan antara IPNU dan individu di dalamnya akan terjadi proses antisosial, seperti  saling menjauh antara IPNU dan individu-individu tersebut.
Ketiga, Fasilitasi Aktualisasi. IPNU masih perlu memberikan fasilitas bagi seseorang yang memerlukan aktualisasi potensi diri. IPNU tidak lebih dari sekelompok individu-individu yang masing-masing mempunyai kebutuhan dan kepentingan. IPNU perlu menawarkan fasilitasi aktualisasi bagi setiap individu yang tunduk kepada ketentuan IPNU. Tawaran bisa berbentuk pengakuan sosial, ruang karir, dan lainnya.
Seorang Kiai di Jawa Timur pernah menyatakan, “kejujuran itu hak semua orang dan parameter kejujuran seseorang adalah uang publik yang ada di tangannya.” Saya menyadari gagasan ini memang terkesan materialistik. Namun yang sering kita lupakan parameter militansi itu sebenarnya adalah materi, yang Kiai simbolkan dengan “uang”.  Kaderisasi yang bersifat “doktrinasi” memang masih dibutuhkan, sebagaimana kiai kita masih sering ceramah tentang kejujuran. Tahapan terpenting selanjutnya adalah fasilitas untuk menguji doktrin tersebut. Saat ini sudah cukup banyak generasi nahdliyin yang lupa akarnya karena dia tidak pernah diuji oleh fasilitas nahdliyin. Maka IPNU era masa depan adalah IPNU yang mampu melahirkan individu-individu yang mampu memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa, yang dipandang perlu untuk hidup.
Kita tentu tidak menginginkan terjadi keruntuhan IPNU. Gagasan di atas adalah revitalization movements, yaitu upaya sadar untuk menciptakan sistem pemberdayaan kader IPNU yang lebih memuaskan. Gagasan ini akan memberikan kontribusi besar bagi kader IPNU yang sudah militan hanya karena doktrinasi, dan menjadikan individu-individu yang mempunyai  militansi ke-NU-an  meski berlum pernah merasakan doktrinasi ke-NU-an.
Hal ini penting untuk kita lakukan disebabkan karena IPNU merupakan wadah yang menghimpun jutaan pelajar nahdliyin yang secara luas tersebar di seluruh pelosok Indonesia telah menjadi korban pertama ditengah kondisi negeri kita yang belum bisa memberikan kepastian hidup untuk mereka. Apapun bentuknya, kita tidak bisa mengelak dari sekian kenyataan atas  fakta yang menimpa pelajar kita.
Akhir kata, keberadaan buku “Spektrum dan Garis Perjuangan Pelajar Nahdlatul Ulama : Hasil Kongres XVI Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama” ini merupakan buah pemikiran dan pergulatan gagasan pelajar NU tentang pengawalan kader dan sebagai solusi terhadap permasalahan bangsa. Dan terpenting buku ini merupakan ma’alim (rambu-rambu) perjalanan organisasi IPNU kedepan sebagai konsensus nasional dari berbagai perdebatan. Sehingga konflik dan ketegangan demi ketegangan terkait interpretasi aturan dan tata laksana organisasi kita ini tidak terjadi lagi di tingkat kepengurusan IPNU. Terus belajar berjuang dan bertakwa…. !


Wallahul muwaffiq ila aqwamiththariiq
Wassalamu’alaikum wr.wb
   






  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar