Urgensi
Repositioning IPNU di Dunia Pelajar
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) setelah melakukan perubahan nama dari “Putra” ke “Pelajar” mempunyai
implikasi yang cukup dalam. Terutama dari aspek garapan dan pengelolaan kelembagaan.
Pada kongres tahun 2000 di Makassar lahir keputusan-keputusan strategis dan taktis. Salah
satunya adalah keputusan yang menyangkut
peneguhan eksistensi kepelajaran dalam tubuh organisasi
dengan Deklarasi Makassar-nya. IPNU yang sejak Kongres
Jombang berkepanjangan "Ikatan Putra Nahdlatul Ulama" dikembalikan
lagi sesuai khittah organisasi menjadi "Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama". Dan Komitmen kepelajaran tersebut ditegaskan kembali di Kongres IPNU
XVI IPNU di Brebes Jateng kemarin dengan menghasilkan beberapa langkah-langkah
pengembangan strategis ke arah itu.
Hasil yang sangat menarik dari ketergugahan pada kongres
23-26 Maret 2000 di atas, adalah terdorongnya peserta kongres berikutnya,
kongres ke-14 IPNU di Surabaya pada Maret 2003, untuk merubah singkatan putra
pada IPNU menjadi pelajar. Jelas menunjukkan adanya koherensi produktif di saat
awal lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, untuk
berkomitmen dalam bidang pendidikan.
IPNU menjadi "Ikatan Pelajar" adalah kebutuhan, bahkan kebutuhan itu sudah tak dapat ditawar-tawar lagi, mengingat kelompok pelajar dan santri saat ini hampir tak terkendali dengan munculnya fenomena narkoba, video porno, free sex, tawuran pelajar, kenakalan remaja, fundamentalisme pelajar, dan bahkan fenomena anti agama! Kalau IPNU tidak kembali kepada mereka, mereka akan semakin tak terkendali.
IPNU menjadi "Ikatan Pelajar" adalah kebutuhan, bahkan kebutuhan itu sudah tak dapat ditawar-tawar lagi, mengingat kelompok pelajar dan santri saat ini hampir tak terkendali dengan munculnya fenomena narkoba, video porno, free sex, tawuran pelajar, kenakalan remaja, fundamentalisme pelajar, dan bahkan fenomena anti agama! Kalau IPNU tidak kembali kepada mereka, mereka akan semakin tak terkendali.
Kini, setelah tujuh tahun kongres di Surabaya dan belum
lama kemarin kongres IPNU di Brebes berakhir, IPNU secara serentak perlu
menegaskan jati dirinya kembali sebagai basis pengembangan kepelajaran dan
santri ataukah sekadar adagium "antara ada dan tiada". Saya mengemukakan hal
ini dengan maksud agar hal itu dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka
bagi kalangan IPNU. Haruskah usia yang menua lebih dari 58 tahun, hanya akan
menjadi strategi pengembangan secara kultural dari praktik subaltern? Yaitu
refleksi asal-asalan dalam ritual perbincangan santai tanpa rumusan aplikatif.
Memperdebatkan hal diatas
memang harus, akan tetapi hasil yang diharapkan tidak bisa dicapai dalam waktu
singkat. Sambil menunggu proses, kesadaran akan fungsi organisasi kiranya
menjadi solusi atas problem diatas. Ya!!! Mencurahkan seluruh potensi yang ada
di organisasi untuk lebih fokus ke pelajar dan santri saya kira pilihan
rasional.
Pergeseran
akronim “P" dari pemuda menjadi pelajar sedikit banyak berimplikasi terhadap
lahan garapan IPNU yang kembali ke khittahnya untuk lebih konsen terhadap
pelajar. Lagi-lagi IPNU tidak memiliki bargaining yang kuat untuk menawarkan
diri menjadi rumah kedua bagi pelajar muda NU khususnya. IPNU yang seharusnya
tumbuh berkembang di lingkungan sekolah dan pesantren sebagai basisnya terasa
kurang ada gairah. Belum lagi militansi anggota IPNU yang masih
setengah-setengah dalam membaur dan beradaptasi di lingkungan IPNU dan NU
sehingga sulit untuk dapat mengembangkan IPNU secara utuh.
Pergeseran makna
juga menjadi sebuah dilema bagi IPNU. Penanaman doktrin aswaja di lingkungan
pelajar muda saat ini sangat terbatas kalah saing dengan modernitas dan
weternisasi. Akibatnya calon kader-kader muda hanya mempunyai loyalitas yang
minim terhadap aqidah ahlussunnah wal jamaah. Dua hal lagi yang paling urgen
adalah tata manajemen dan keuangan organisasi yang sangat minim, membuat
gerakan IPNU seolah jalan di tempat.
Sisi-sisi
kekurangan IPNU yang seharusnya menjadikan kita makin keras untuk belajar, berjuang,
bertaqwa. Meskipun tidak memungkiri begitu banyak prestasi yang telah di raih
IPNU, dan kita patut bangga menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari
sebuah organisasi NU ini.
Sebuah Tawaran Konsep Pemberdayaan kader
Beberapa waktu
yang lalu diberitakan ada sebuah pesantren tradisional di Jawa Timur. Di salah
satu sisi pesantren, terdapat gedung megah empat lantai, ruangan ber AC,
komputerisasi, dan terdapat fasilitas WiFi. Mereka menyebut gedung tersebut Kantor Pelayanan Terpadu. Di dalamnya dikendalikan
15 media terbitan lokal, 85 koperasi yang tersebar di Jawa, 150 sekolah fillial
se Jawa, 45 asosiasi se Indonesia, dan lainnya. Di sisi kanan terdapat gedung
dalam taraf penyelesaian dengan nilai
Rp. 4 Miliar, dan mereka menyebut, “Balai
Santri Profesional. Dari sini akan lahir percepatan kelahiran santri
profesional di bidang ekonomi.”
Dunia masa depan
adalah dunia yang berkehidupan di atas landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kebutuhan dasar masyarakat sudah bertambah, yaitu kecepatan akses informasi
yang berimplikasi pada ruang dan waktu yang semakin sempit, singkat, sekaligus
dunia yang semakin mengglobal. Teknologi telah menjadi landasan pergerakan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.
IPNU telah
bertahan di Indonesia lebih dari setengah abad. Artinya, IPNU telah menjadi
bagian dari kebudayaan Indonesia. IPNU sebagai budaya mampu lestari karena ia
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu para anggotanya. Sampai
berapa jauh suatu kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan, itulah yang
akhirnya menentukan suksesnya. Sebaliknya,
“sukses” IPNU diukur dengan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri dan bukan
dengan sesuatu dari luar. Lantas seberapa jauh militansi anggota IPNU terhadap kebudayaannya
tergantung proses penumbuhan kebudayaan tersebut.
Pada kesempatan
ini saya menggagas metode pemberdayaan kader IPNU yang menjanjikan militansi
mendasar pada konsep, khairunnas
anfa’uhum linnas, dalam konteks ini artinya: “sebaik-baik organisasi adalah yang mampu memberikan manfaat kepada
anggotanya.”
Pertama, fasilitasi Pendidikan. Pemberdayaan
kader IPNU harus memberi porsi lebih besar terhadap fasilitasi pendidikan,
pencerahan, dan kata sejenisnya yang mengarah pada prestasi personal. IPNU saat
ini tidak pada tahap “bertahan hidup”, tapi pada tahap proses dan aktivitas
untuk kelangsungan hidup. Pendidikan, pelatihan adalah alat utama
keberlangsungan hidup setiap manusia, dan IPNU perlu memberikan fasilitas atas
kebutuhan dasar tersebut.
Kedua, Fasilitasi Akses/Network.
IPNU perlu memberikan akses seluas-luasnya bagi personal yang sedang
mengalami proses pengembangan kapasitas diri. Kekuatan akses IPNU perlu
didistribusikan kepada individu-individu untuk mengurangi tekanan
persoalannya. Mengingat jika terjadi
ketidakseimbangan antara IPNU dan individu di dalamnya akan terjadi proses
antisosial, seperti saling menjauh
antara IPNU dan individu-individu tersebut.
Ketiga, Fasilitasi Aktualisasi. IPNU masih perlu memberikan fasilitas bagi seseorang yang memerlukan
aktualisasi potensi diri. IPNU tidak lebih dari sekelompok individu-individu
yang masing-masing mempunyai kebutuhan dan kepentingan. IPNU perlu menawarkan
fasilitasi aktualisasi bagi setiap individu yang tunduk kepada ketentuan IPNU.
Tawaran bisa berbentuk pengakuan sosial, ruang karir, dan lainnya.
Seorang Kiai di
Jawa Timur pernah menyatakan, “kejujuran itu hak semua orang dan parameter
kejujuran seseorang adalah uang publik yang ada di tangannya.” Saya menyadari
gagasan ini memang terkesan materialistik. Namun yang sering kita lupakan
parameter militansi itu sebenarnya adalah materi, yang Kiai simbolkan dengan
“uang”. Kaderisasi yang bersifat
“doktrinasi” memang masih dibutuhkan, sebagaimana kiai kita masih sering
ceramah tentang kejujuran. Tahapan terpenting selanjutnya adalah fasilitas
untuk menguji doktrin tersebut. Saat ini sudah cukup banyak generasi nahdliyin yang lupa akarnya karena dia
tidak pernah diuji oleh fasilitas nahdliyin.
Maka IPNU era masa depan adalah IPNU yang mampu melahirkan individu-individu
yang mampu memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa, yang dipandang
perlu untuk hidup.
Kita tentu tidak
menginginkan terjadi keruntuhan IPNU. Gagasan di atas adalah revitalization movements, yaitu upaya
sadar untuk menciptakan sistem pemberdayaan kader IPNU yang lebih memuaskan.
Gagasan ini akan memberikan kontribusi besar bagi kader IPNU yang sudah militan
hanya karena doktrinasi, dan menjadikan individu-individu yang mempunyai militansi ke-NU-an meski berlum pernah merasakan doktrinasi
ke-NU-an.
Hal ini penting
untuk kita lakukan disebabkan karena IPNU merupakan wadah yang menghimpun
jutaan pelajar nahdliyin yang secara luas tersebar di seluruh pelosok
Indonesia telah menjadi korban pertama ditengah kondisi negeri kita yang belum
bisa memberikan kepastian hidup untuk mereka. Apapun bentuknya, kita tidak bisa
mengelak dari sekian kenyataan atas
fakta yang menimpa pelajar kita.
Akhir kata,
keberadaan buku “Spektrum dan Garis Perjuangan Pelajar Nahdlatul Ulama :
Hasil Kongres XVI Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama” ini merupakan buah
pemikiran dan pergulatan gagasan pelajar NU tentang pengawalan kader dan
sebagai solusi terhadap permasalahan bangsa. Dan terpenting buku ini merupakan ma’alim
(rambu-rambu) perjalanan organisasi IPNU kedepan sebagai konsensus nasional
dari berbagai perdebatan. Sehingga konflik dan ketegangan demi ketegangan terkait
interpretasi aturan dan tata laksana organisasi kita ini tidak terjadi lagi di
tingkat kepengurusan IPNU. Terus belajar berjuang dan bertakwa…. !
Wallahul muwaffiq
ila aqwamiththariiq
Wassalamu’alaikum
wr.wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar