Nahdlatul
Ulama (NU) merupakan sebuah jam’iyyah diniyyah yang menganut paham ahlussunnah
wal jama’ah. Di dalam bidang fiqh, NU menganut madzhab fiqh yang empat, yaitu
madzhab Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad
ibn Idris asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, di dalam
perkembangannya, mayoritas warga Nahdliyyin menganut paham Syafi’iyyah di
bidang fiqh karena fleksibilitas dan ketelitian beliau di dalam metode istinbath al-ahkam.
Selanjutnya, di dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyyah yang
dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dinisbatkan oleh
Abu Mansur al-Maturidi. Selain itu, di bidang tasawuf, NU menganut paham Imam
Al-Ghazali dan Imam Abu Junaid al-Baghdadi. Begitulah sistem taqlid diwajibkan
di dalam NU bukan untuk membodohkan ummat, tetapi justru sebagai sebuah sikap
kehati-hatian di dalam mengikuti Al Quran dan Sunnah sehingga pengimplementasian
amaliyah-amaliyah dan ibadah-ibadah Islam tidak akan melenceng dari Al Quran
dan Sunnah.
Sebagai organisasi islam yang bersifat kultural,
tidak mengherankan jika NU memiliki basis pendukung sebanyak empat puluh juta
jiwa di seluruh Indonesia (data tahun 2000, kemungkinan saat ini lebih dari
empat puluh juta jiwa dan data tahun 2009 didapat oleh Suaidi Asyari,
memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan
pendukung atau pengikut paham keagamaan NU) yang kemudian menjadikan NU sebagai
organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia dan mampu
mengalahkan ormas Islam yang telah berkembang sebelumnya. Paham NU telah
mengakar sangat kuat, sampai-sampai orang awam saja dapat menjadi keanggotaan
NU secara kultural. Banyaknya basis pendukung juga tidak disebabkan oleh
kelebihan NU sebagai organisasi masyarakat Islam yang bersifat kultural saja,
tetapi juga disebabkan oleh model istinbath
al-ahkam dan corak fiqh ala ahlussunnah wal jama’ah (dengan
berbagai metode ijtihad, seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, Masalihul Mursalah,
‘Urf, Istishab, dan sebagainya) yang direpresentasikan oleh NU sangat fleksibel
tanpa meninggalkan nilai-nilai pokok ajaran Islam dan tanpa meninggalkan dan
mengesampingkan dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah.
Fleksibilitas
pemikiran NU ini selanjutnya berefek pada fleksibilitas sikap para warga
Nahdliyyin, khususnya terhadap perbedaan pemikiran atau pendapat dan mengenai
adanya tradisi-tradisi. NU tidak kemudian melawan pemikiran-pemikiran yang
bertolak belakang dengan NU, tetapi NU justru memberikan ruang toleransi bagi
mereka. Selain itu, NU tidak memberantas habis tradisi yang berkembang di
masyarakat, namun dengan kecerdasan para kyai NU telah berhasil melakukan
akulturasi dan asimilasi tradisi sehingga tradisi yang asalnya tidak sesuai
dengan ajaran Islam, perlahan bermetamorfosa menjadi tradisi yang sesuai dengan
ajaran Islam meskipun tetap menimbulkan kontroversi dan kontradiksi pada
sejumlah kalangan. Prinsip aswaja juga selalu dijunjung tinggi oleh NU di dalam
sikapnya terhadap segala sesuatu yang berkembang di dalam masyarakat,
yaitu tawazun
(seimbang dalam segala hal, termasuk penggunaan dalil naqli dan
dalil ‘aqli), tasamuh (mengembangkan
toleransi), tawassuth (sikap tengah,
tidak ekstrem kanan dan juga tidak ekstrem kiri), dan istidal (tegak
lurus, artinya konsistensi antara pikiran, ucapan, dan perbuatan).
NU
juga merupakan representasi dari kalangan pesantren Indonesia yang pernah
mencatatkan dirinya dengan tinta emas karena keberhasilannya di dalam ikut
serta memprotes tindakan Raja Ibnu Saud untuk membongkar makam Nabi Muhammad
SAW dan para sahabat beliau serta keinginan Raja Ibnu Saud mewajibkan seluruh
ummat Islam terutama yang beribadah haji untuk memeluk paham Wahhabi (suatu
paham puritan yang dinisbatkan kepada Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab). Walhasil,
Raja Ibnu Saud membatalkan rencananya untuk membongkar makam Nabi Muhamamd SAW
dan beberapa sahabat serta kebebasan bermadzhab dijaminkan kepada para pemeluk
Islam meskipun di Mekkah telah diputuskan paham resmi Negara adalah Wahhabi.
Sebagai representasi dari kalangan pesantren, tentu saja NU juga memiliki
banyak sekali kelebihan. Para kyai dan santri yang senantiasa belajar mengaji
dan mengkaji, telah membuat mereka menjadi pribadi yang faqih, ‘alim, bermanfaat
bagi agama dan Negara. Selain itu, sifat-sifatnya yang zuhud, qana’ah, suka
bersusah payah (prihatin—bahasa Jawa), taqwa, telah membuat beberapa dari
mereka memiliki karamah
dan kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa. Sehingga suatu hal yang
mengherankan ketika banyak pihak yang menyangsikan dan menyepelekan kyai hanya
karena sifat tidak baik dari sebagian kecil kyai saja.
Satu
hal yang juga tidak kalah penting, semua Habib (keturunan Nabi) di
Indonesia misalnya Habib Syeikh ibn Abdul Qadir Assegaf, Habib Rizieq
Syihab, Habib Munzir al-Musawa (masih banyak lagi para habib yang lain)
telah menjadikan pribadi mereka sebagai pembela paham ahlussunnah wal jama’ah
ala NU. Bahkan Kyai Haji Habib Muhammad Luthfi Ali Bin Yahya menjabat
sebagai Rais ‘Am
Jam’iyyah Ahli Thariqat Al Mu’tabarah al Nahdliyah dan Rais Syuriah
PBNU. Kelebihan ini bahkan tidak dimiliki oleh ormas Islam yang lain di
Indonesia. Sebuah penghormatan yang sangat besar karena keturunan Nabi Muhammad
SAW menjadi bagian dari NU.
Namun,
sebagai organisasi islam yang bersifat struktural, NU justru memiliki banyak
kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut dapat saya identifikasikan sebagai
berikut :
1.
Sepinya kegiatan di berbagai ranting atau cabang atau wilayah.
Di
beberapa daerah, kegiatan yang dibawah struktural NU kurang progresif dan
cenderung sepi. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa kalangan menyebut NU
sebagai The
Silence Majority (mayoritas yang hanya diam). Hal ini jelas
merugikan NU sebagai organisasi Islam yang dibangun dengan tujuan salah satunya
menegakkan agama Islam khususnya amalan-amalan ahlussunnah wal jama’ah dan juga
menyejahterakan ummat. Sebagai organisasi yang terbesar, jangan sampai NU hanya
mempunyai kegiatan yang menguntungkan pihak NU sendiri, NU harus progresif
mengadakan kegiatan yang outputnya
dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas secara umum dan masyarakat
sekitar secara khusus. Tidak hanya kuantitas kegiatan yang menjadi sasaran di
dalam menyusun program kerja, tetapi kualitas kegiatan juga penting. Kegiatan
yang diadakan harus bersifat tepat sasaran, tepat guna, dan tepat tujuan.
Mempertahankan kegiatan yang sudah menjadi tradisi memang baik, tetapi
mengadakan inovasi kegiatan akan lebih baik. Ketika jaman semakin membuat
tingkat kesulitan mencapai kesejahteraan hidup semakin tinggi dan juga berefek
kepada tergadainya iman dan aqidah, kegiatan-kegiatan yang tidak hanya kegiatan
keagamaan, misalnya kegiatan seminar, training, pelatihan, kursus, membuka
klinik, koperasi, dan sebagainya, sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Kegiatan-kegiatan yang diadakan seperti ini sebenarnya tinggal mengadopsi
konsep Fiqh Sosial yang dicetuskan oleh DR HC KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
(Rais Am Syuriah PBNU) dan kemudian mengimplementasikannya dengan berbagai
teknik dan metode yang disesuaikan dengan sasaran dan kebutuhan sehingga
memiliki output
yang maksimal. Kegiatan seperti ini juga harus menyebar baik di setiap
tingkatan maupun di setiap daerah. Kemampuan berpikir inovatif dan peka
terhadap kebutuhan ummat tentu saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan
skill pengelolaan organisasi yang tentunya sangat dibutuhkan dan harus ada di
setiap jajaran struktural NU.
2.
Semakin besar jumlah anggota suatu kelompok, semakin tidak kohesif (kompak,
lekat, solid).
Data
tahun 2009 menunjukkan bahwa sebanyak lima puluh satu juta jiwa muslim dan
santri Indonesia berafiliasi dengan NU, baik secara kultural maupun secara
struktural. Hal ini menjadi kelebihan yang dimiliki oleh NU yang menjadikan NU
sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, tetapi di sisi lain
juga menimbulkan efek negative yang lain. Efek tersebut adalah sulitnya
mengelola keanggotaan yang sangat banyak. Di dalam hukum kohesivitas psikologi
sosial, semakin besar jumlah anggota suatu kelompok akan mengakibatkan kurangnya
kohesivitas para anggota kelompok tersebut. Beberapa kalangan juga menilai
bahwa NU kurang serius di dalam mengelola keanggotaan warganya. Di pihak lain,
banyak terdapat para anggota struktural NU yang juga kurang memahami manajemen
organisasi yang baik yang juga akan mengakibatkan kurang solidnya barisan NU
secara struktural. Banyak pertemuan di berbagai tingkatan dan daerah secara
rutin dengan agenda membahas masalah terkini ummat untuk dicarikan solusinya
mungkin akan dapat menjadi sebuah solusi untuk permasalahan kohesivitas ini.
Selain itu, di sisi lain para anggota struktural NU juga harus belajar mengenai
manajemen organisasi yang baik, bagaimana menyolidkan warga NU, bagaimana
menghadapi masalah ummat, bagaimana ketika ada gesekan atau tantangan dari luar
datang, dan sebagainya. Barangkali tantangan dari kaum radikalis—puritan yang
semakin tinggi menjadi hikmah bagi NU untuk semakin menyolidkan barisan dan
tidak lengah sedikitpun di dalam memperjuangkan Islam Sunni dan Ahlussunnah wal
Jama’ah di Indonesia.
3.
Sistem taqlid mengharuskan para kyai NU menuntun para warga Nahdliyyin yang
awam.
Warga
NU sangat bervariasi, termasuk salah satunya mengenai tingkat pemahaman
terhadap Islam secara umum dan ahlussunnah wal jama’ah secara khusus. Ada yang
sangat pandai dan paham, tetapi ada juga yang tidak paham sama sekali atau
taqlid buta. Hal ini jika dibiarkan secara terus menerus, bisa saja akan
merugikan. Di sini saya tidak bermaksud mengharuskan setiap warga NU untuk
berijtihad, tetapi setidaknya ada usaha dari setiap warga NU terutama yang awam
untuk belajar mengenai keilmuan dan kemadzhaban serta ahlussunah wal jama’ah
sehingga semakin mantap di dalam beramaliyyah. Begitu juga sebaliknya,
dibutuhkan peran aktif dari para kyai terutama di tingkat pedesaan untuk istiqamah di dalam
memberikan kajian-kajian yang tidak hanya bersifat akhlaq dan aqidah, tetapi
juga kajian fiqh, paling tidak disesuaikan dengan sasaran sehingga warga yang
awam mampu memahami amaliyyah-amaliyyah mereka meskipun tidak secara detail,
namun akan lebih baik jika para warga mampu untuk memahami sampai detail.
Memberikan dan menyerahkan permasalahan kepada yang bukan ahlinya merupakan
perbuatan yang tidak terpuji, namun membiarkan ummat di dalam keawaman juga
bukan tindakan yang bijaksana. Busyairi Harits, seorang tokoh dari PWNU Jawa
Tengah memiliki konsep Gerakan Kiai Kampung untuk memberikan solusi agar ummat
khususnya di daerah pedesaan tidak awam mengenai masalah keagamaan dan
peribadatan serta dapat mencapai kesejahteraan.
4.
Kontekstualisasi hukum membuat banyak orang terpengaruh paham skripturalis atau
tekstualis.
Corak
pemikiran NU adalah mengkontekskan hukum Islam tanpa meninggalkan nilai-nilai
atau hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran dan Sunnah sebagai sumber utama
di dalam penggalian hukum (istinbath
al-ahkam) dan juga sebagai dalil utama. Hal ini sebagai konsekuensi
dari prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah yang peka terhadap kemashlahatan ummat dan
moderat, salah satunya terhadap budaya. Arti moderat bukan berarti mengijinkan
berkembangnya budaya begitu saja tanpa penyaringan atau filter. Arti moderat di
sini adalah tetap menghargai adanya budaya tersebut dengan berupaya mengadakan
akulturasi dan asimiliasi dengan budaya Islam. Sehingga, budaya-budaya yang
menjadi amalan-amalan warga Nahdliyyin atau Syafi’iyyah di Indoensia dan
diklaim bid’ah dlalalah tersebut sudah tidak lagi memakai nilai Hindu, Budha,
dan kejawen, tetapi justru diganti dengan nilai-nilai keIslaman, misalkan
menghilangkan unsure kesyirikan, mengisi acara dengan doa dan sesuatu yang
bermanfaat. Kontekstualisasi hukum seperti ini membutuhkan kecerdasan,
kepahaman, ketelitian, dan kehati-hatian yang sangat dalam pada kalangan kyai
karena yang dihadapi tidak hanya masalah duniawi saja, tetapi masalah keagamaan
yang diperlukan ijtihad meskipun tidak berupa ijtihad muthlaq. Di dalam hadits
Rasulullah SAW bersabda kesalahan ijtihad saja tetap diberi pahala satu, lalu
mengapa masih ada pihak-pihak yang mengeklaim sesat dan salah padahal NU dan
Syafi’iyyah belum tentu salah dan mereka belum tentu benar? Kontekstuaslisasi
hukum ini juga kemudian berefek kepada sulitnya memahami hasil dari
kontekstualisasi hukum tersebut, sehingga memberikan peluang ketidakpahaman
kalangan awam yang kemudian banyak kalangan awam yang mudah terpengaruh oleh
gerakan radikalis—puritan yang cenderung tekstual dan skripturalis di dalam
memahami hukum-hukum di dalam Al Quran dan Sunnah. Hal ini yang kemudian
membutuhkan upaya keras dari kalangan cendekiawan NU dan warga NU yang duduk di
jajaran struktural NU untuk senantiasa mengawal dan membentengi para warga yang
masih awam agar tidak terseret dan tidak terpengaruh oleh gerakan-gerakan
semacam itu yang justru mengancam keutuhan ummat dan ukhuwah islamiyyah.
5.
Banyak para kaum muda NU terlibat ke dalam pemikir yang liberal (neo
Mu’tazilah).
Pemikiran
akan terus berkembang karena sifat pikiran dan ilmu pengetahuan yang dinamis.
Perkembangan pemikiran seperti ini mampu memberikan efek positif di dalam
kehidupan untuk tujuan kesejahteraan ummat. Namun, di sisi lain ketika terdapat
kesulitan di dalam kehidupan yang membutuhkan tingkat dinamis dan fleksibiltas
pemikiran yang tinggi, akan justru mengakibatkan liarnya pemikiran yang mungkin
dapat keluar dari ketentuan syara’.
Seperti yang telah tercatat oleh sejarah bahwa Islam pernah berjaya di tangan
kaum Mu’tazilah yang pandai berdebat dengan teknik rasionalitas yang tinggi dan
kemampuan filsafat yang hebat untuk menghadapi kaum zindiq yang menggerogoti
Islam dari dalam. Namun, di sisi lain, mereka justru telah melampaui batas di
dalam menggunakan akal dan pikiran mereka sehingga mereka diberangus oleh
mantan pengikutnya sendiri, Abu Hasan al-Asy’ari yang telah taubat dari paham
Mu’tazilah yang dianutnya selama 40 tahun, dan beliau telah menancapkan paham
Asy’ariyyah menggantikan paham Mu’tazilah. Periode saat ini banyak muncul
pemikiran liberal yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai pemikiran liar
dan liberal yang menyalahi syara’.
Beberapa dari kalangan yang disebut sebagai neo-Mu‘tazilah oleh beberapa pihak
yang tidak setuju dengan mereka, justru menganut paham NU meskipun secara struktural
tidak masuk di dalam kepengurusan NU. Terlepas apakah cara berpikir mereka
benar atau bahkan salah, keberadaan pemikiran tersebut terbukti menodai kalangan
NU sendiri, bahkan tidak jarang kalangan kyai berselisih pendapat dengan kaum
muda NU yang liberal. Selain itu, terdapat beberapa mahasiswa NU yang tergabung
dalam PMII suatu universitas sering mengadakan diskusi membahas mengenai
teologi dan doktrin-doktrin yang membuat mereka berfilsafat tanpa arah dan
tujuan yang jelas dan kemudian menjadikan mereka mempermainkan Tuhan dengan
setiap tindakannya. Hal ini selain dapat menghilangkan nilai-nilai hukum Islam,
juga dapat mengancam ukhuwah di tubuh NU sendiri. Jelas efek semacam ini sangat
merugikan bagi NU sendiri. Sehingga kalangan kyai atau Syuriah atau Mustasyar
harus dapat bertindak secara tegas dan tepat di dalam menghadapi kasus seperti
ini. Islam memang agama rahmat untuk seluruh alam, namun bukan berarti
universalitas dan fleksibilitas hukumnya meninggalkan nilai-nilai yang
dibawanya sendiri.
6.
Sikap toleransi yang kemudian disalahartikan menyebabkan sikap toleransi yang
berlebihan.
Salah
satu prinsip dari Ahlussunnah wal Jama’ah adalah prinsip tasamuh yang
diartikan sebagai sikap toleransi dan menghargai perbedaan. Mungkin saja sikap
pluralisme tumbuh dari sikap toleransi ini, yang kemudian menimbulkan polemic
dan kontroversi dari tingkat ulama sampai tingkat akademis. Ada salah satu
fenomena yang menurut saya kurang tepat dari segi aqidah, misalkan ketika Yenny
Wahid (putri Alloh Yarham KH Abdurrahman Wahid) menginstruksikan kepada Barisan
Ansor Serba Guna (BANSER) untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban perayaan
Paskah. Dari segi toleransi ummat beragama jelas ini adalah sikap yang
menguntungkan karena dapat menimbulkan good
image dari kalangan non-Islam terhadap kalangan Islam. Namun, dari
segi aqidah, bisa-bisa sikap semacam ini melunturkan aqidah seseorang. Menjaga
ketertiban dan keamanan peringatan keagamaan agama lain memang kewajiban setiap
warga, namun bukankah POLRI yang seharusnya berada di garda terdepan karena itu
memang tugas POLRI? Bukankah ketika ikut menjaga peribadatan mereka juga
berarti mengakui kegiatan peribadatan mereka yang pada akhirnya berefek kepada
kepercayaan secara tidak langsung terhadap Tuhan mereka? Toleransi bukan selalu
harus terlibat secara langsung, membiarkan mereka beribadah dan tidak bersikap
anarkis serta provokatif pun sudah termasuk sikap toleransi. Toleransi memang
membutuhkan pertimbangan kemashlahatan ummat, tetapi juga bukan berarti membuat
aqidah kita menjadi luntur.
7.
Motivasi menulis warga Nahdliyyin rendah.
NU
merupakan sebuah organisasi yang didominasi oleh kalangan santri dan kyai.
Hampir seluruh waktu di setiap harinya dipakai santri untuk mengaji kitab
kuning kepada para kyainya. Selain itu, santri juga dituntut menegakkan
sembahyang-sembahyang sunnah sehingga bisa dikatakan waktu 24 jam dalam sehari
kurang bagi santri dan kyai. Betapa sibuknya mereka untuk mencapai kemuliaan
akhirat dan untuk mencari bekal menyejahterakan ummat kelak ketika sudah keluar
dari pondok. Kesibukan ini ternyata memiliki sedikit (jika tidak mau dikatakan
banyak) efek yang kurang baik bagi santri, yaitu kurangnya (bukan tidak adanya)
motivasi untuk menulis. Menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia juga
selain mengaji. Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari (sebagai
pendiri dan Rais Akbar NU) saja rajin menulis yang membuat beliau menghasilkan
karya sebanyak 20 kitab. Apalagi para santri dan warga NU, harus mencontoh
keteladanan beliau. Menulis ini juga akan menimbulkan dampak positif bagi NU
sendiri, yaitu sebagai sarana membentengi diri dari hantaman kalangan
radikalis—puritan yang notabene rajin menulis namun ketika diadakan dialog
terbuka secara ilmiah justru tidak pernah menyanggupi. Banyak media massa yang
didominasi oleh kalangan radikalis—puritan yang menjadikannya sebagai alat
untuk menyebarkan pahamnya. Buku merupakan salah satu media yang paling
ekonomis dan dapat menyebar luas sehingga untuk menghadapinya juga dibutuhkan
usaha sebanding. Salah satu upaya untuk menumbuhkan minat menulis ini
sebenarnya sudah dilaksanakan oleh NU sendiri yaitu melalui pelatihan yang
diadakan oleh lembaga NU yang bernama Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (LAKPESDAM). Namun, upaya ini sepertinya kurang progresif di
berbagai daerah. Upaya seperti training dan pelatihan menulis harus diupayakan
secara kontinyu dan berkualitas di berbagai tingkatan dan daerah. Tidak hanya
mengembangkan kemampuan menulis, tetapi juga mengembangkan keilmuan terkait
konten atau materi mengenai apa yang ditulis, misalkan keilmuan fiqh, hadits,
Al Quran, tafsir, dan sebagainya. Para kyai pun juga dituntut untuk memotivasi para
santrinya agar memiliki gairah berkarya.
8.
Pengkaderan yang kurang progresif di beberapa daerah.
Sebagai
organisasi secara struktural, NU kurang dapat mengendalikan keanggotannya. Hal
ini berakibat pada pengkaderan yang kurang rapi dan kurang optimal. Banyaknya
anggota dan kader secara struktural belum tentu menjamin kelangsungan NU
sendiri. Selain kuantitas, kualitas kader juga sangat penting. Karena itu,
harus ada upaya pengkaderan secara serius dan kontinyu. Misalkan, pengkaderan
IPNU, IPPNU, GP Ansor dan Banser-nya, Fatayat NU, harus dilaksanakan sesuai
dengan program kerja dan konsep yang telah dicanangkan oleh NU, seperti
Pelatihan Kader Muda (Lakmud) untuk pengkaderan IPNU dan IPPNU. Tidak hanya
itu, teknik acara dan konten acara juga harus diperhatikan. Materi-materi yang
diberikan harus berkualitas, misalkan materi tentang manajemen organisasi,
aswaja, keNUan, networking,
kohesivitas, pendidikan karakter dan mental, dan sebagainya. Dari situ, tentu
saja dibutuhkan peran kalangan senior di dalam mengadakan kegiatan tersebut.
Pengkaderan yang berkualitas akan melahirkan kader yang tidak hanya
berkualitas, tetapi juga militan dan loyal. Kader yang militant dan loyal akan
mengakibatkan kohesivitas yang tinggi di antara para kader NU. Pada akhirnya, NU
akan menjadi organisasi yang kuat dan kokoh, tidak mudah goyah dengan terpaan
badai dan tantangan serta akan dapat memecahkan permasalahan ummat.
9.
Jangan hanya berNU secara kultural, tetapi juga secara akademisi.
Sebagai jam’iyyah diniyyah,
tidak cukup ketika hanya mengaku dan melaksanakan amaliyyah-amaliyyah NU saja.
Tetapi diperlukan upaya untuk paling tidak memahami amaliyyah-amaliyyah
tersebut sesuai kadar kemampuan sehingga akan semakin mantap di dalam
beramaliyyah. Tidak hanya itu, peningkatan pendidikan juga harus menjadi
perhatian khusus NU. Pendidikan merupakan permasalahan urgen dan sampai
sekarang masih menjadi permasalahan yang terus diperbincangkan. Pandai di dalam
keilmuan agama merupakan tingkatan yang mulia, namun pandai di dalam keilmuan
umum juga tidak bisa dianggap remeh. Keilmuan agama dan umum sangat bermanfaat
guna mencapai kesejahteraan dunia dan kahirat (sa’adatuddarain). Permasalahan
kekinian tidak cukup diselesaikan dengan hanya beribadah dan berdoa saja,
tetapi juga dengan upaya yang membutuhkan kecerdasan dan pengembangan pemikiran
dan keilmuan guna memecahkan permasalahan ummat, khususnya yang bersifat
duniawi. Efek selanjutnya, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan dapat
diminalisir dan dihilangkan yang selanjutnya mengakibatkan kesejahteraan ummat.
Arah perjuangan di dalam mengentaskan dan memecahkan berbagai masalah tersebut
harus sejalan dengan Qanun
Asasy Nahdlatul Ulama (yang dipidatokan oleh Rais Akbar NU pada
Muktamar I NU, Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari yang
sekaligus menjadi Anggaran Dasar NU), Khiththah
Nahdliyyah(yang dirumuskan oleh Kyai Haji Achmad Shiddiq yang
menjadi Rais Am PBNU masa jabatan 1984—1991), dan Mabadi’ Khairu Ummat.
Sehingga sebagai warga NU, khususnya santri, harus mampu menjadi kalangan
terpelajar sebelum akhirnya melakukan upaya pengentasan kemiskinan,
keterbelakangan, dan kebodohan ummat demi mencapainya kesejahteraan ummat dan
kejayaan Islam.
10.
Para warga Nahdliyyin diharapkan aktif untuk menyumbangkan segala sesuatu
kepada NU.
Sebagai
warga yang bersedia diafiliasikan dengan NU, seharusnya memiliki komitmen
tinggi untuk berkorban kepada NU. Berkorban banyak caranya. Berkorban juga
sebaiknya dilaksanakan dengan maksimal tanpa menafikan kemampuan dan kadar diri
masing-masing. Bagi para warga Nahliyyin yang duduk di jajaran struktural NU,
sebaiknya melengkapi keterampilan diri dengan keterampilan manajemen organisasi
di samping keterampilan keilmuan dan interpersonal. Bagi para warga Nahdliyyin
yang memiliki kelebihan harta diharapkan bersedia menyisihkan sebagian hartanya
untuk NU, misalkan membangun gedung NU tingkat Majelis Wakil Cabang atau Cabang
atau Wilayah, agar di setiap kegiatannya NU mampu mengaktualisasikan dirinya
dengan baik tanpa terkendala fasilitas. Selain itu bisa juga menyumbangkan
hartanya untuk kegaiatan-kegaiatan NU sebagai donator. Bagi para warga
Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di bidang pemikiran, diharapkan bersedia menyumbangkan
pemikiran dalam hal apapun untuk kemajuan NU dan kemashlahatan ummat, misalkan
pemikiran mengenai hal-hal kekinian, pemikiran mengenai konsep kegiatan yang
inovatif, dan sebagainya. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kemampuan
menulis, diharapkan bersedia menuliskan setiap pemikirannya dan
mempublikasikannya kepada masyarakat NU dan umum sehingga mampu mencerahkan
tidak hanya NU saja tetapi juga masyarakat umum. Bagi warga Nahdliyyin yang
memiliki kelebihan di dalam hal kepandaian atau kefaqihan, maka diharapkan
mampu mencerahkan dan mencerdaskan ummat dengan ilmunya. Tentunya sikap-sikap
seperti harus disertai dengan pengimplementasian prinsip-prinsip ahlussunnah
wal jama’ah dengan baik.
11.
NU harus merapikan strukturalnya.
Sebuah
tantangan yang berat untuk organisasi sebesar NU di dalam mengelola keanggotaan
dan organisasinya. Dibutuhkan skill
dan kemampuan mengenai keilmuan manajemen organisasi untuk mengelola organisasi
besar dengan baik. NU yang juga bercorak struktural jangan hanya mengandalkan
basis strukturalnya. Anggota NU sudah banyak tanpa pengelolaan dengan baik
karena sudah melekatnya tradisi ahlussunnah wal jama’ah yang berkembang di
Indonesia. Hal ini akan sangat baik jika disertai pengelolaan organsasi dengan
kualitas yang tinggi yang akan membuat organsasi menjadi sangat rapi. Efeknya,
keangotaan akan jelas dan kinerja akan semakin produktif. Sebagai salah satu
contohnya, program dari PBNU yang membuat KARTANU (Kartu Tanda Anggota NU),
baik untuk warga NU secara struktural maupun secara kultural. Program ini
tentunya sangat berkualitas karena dengan adanya KARTANU ini, maka seluruh
anggota dan warga NU akan tercatat di databaseNU.
Jika keanggotaan jelas, maka PBNU tidak akan kesulitan untuk berinteraksi
dengan para warganya dan juga tidak akan mengalami hambatan jika warganya
membutuhkan pertolongan. Kelebihan yang lain dari KARTANU ini tidak hanya
berfungsi sebagai kartu tanda anggota saja, tetapi juga sebagai kartu asuransi
dan kartu pra bayar. Namun, sayangnya upaya PBNU ini tidak diimbangi dengan
respon yang reaktif dari jajaran struktural dibawahnya yang seharusnya membantu
PBNU di dalam mengkoordinasi warga NU untuk membuat KARTANU tersebut, misalkan
oleh PWNU dan PCNU, sehingga program yang berkualitas ini kurang terpublikasi
dan terealisasi dengan baik. Upaya yang lain untuk merapikan struktural NU
adalah dengan cara memasang nameboard
NU dan badan otonom-badan otonom (banom) NU di setiap ranting
(desa) atau majelis wakil cabang (kecamatan) atau cabang (kabupaten) atau wilayah
(propinsi), sehingga akan jelas bahwa di daerah tersebut merupakan basis
pendukung NU. Pemasangan nameboard
NU dan banom-banomnya ini merupakan tanggung jawab dari jajaran struktural NU
misalkan PCNU. Pemasangan nameboard
NU dan banom-banomnya ini juga tidak dapat dilakukan “asal dipasang”, tetapi
harus berada di tempat yang strategis, atau jika dimungkinkan dipasang di
kantor NU dan banom-banomnya. Hal ini akan memudahkan akses para warga NU jika
membutuhkan bantuan dari NU dan mengadakan kegiatan keNUan. Selain upaya
tersebut, merapikan organisasi juga tidak hanya merapikan secara struktural,
tetapi juga merpikan program kerja dan realisasinya sehingga program kerja
dapat terlaksana dengan baik dan dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat.
12.
NU harus bertindak tegas kepada para warganya yang melenceng dari prinsip dan
ajaran aswaja.
Ketika
saya jalan-jalan di sebuah toko buku, terdapat buku yang sangat kontroversi,
yaitu Mahrus Ali yang mengaku Mantan Kiai NU dan buku yang diterbitkan oleh
penerbit yang sama yang berjudul “MWC NU Menggugat Aqidah Sesat NU”. Hal ini
sangat disayangkan karena mengancam ukhuwah NU secara khusus dan ukhuwah
islamiyyah secara umum. Diperlukan ketegasan yang nyata dari jajaran struktural
NU yang lebih tinggi untuk menindaklanjuti para warganya yang mengancam ukhuwah
terlebih lagi beberapa oknum warga NU yang bertindak provokatif dan
meninggalkan prinsip-prinsip aswaja. Hal ini jelas dibutuhkan untuk menumbuhkan
persepsi bahwa NU merupakan organisasi yang tidak hanya besar, tetapi juga
tanggap dan tegas secara cerdas. Respon-respon untuk tindakan semacam ini tidak
cukup dengan menulis buku-buku counter
yang banyak tetapi juga dengan sikap dan tindakan seperti yang sudah dilakukan
oleh beberapa jajaran kultural dan sturktural NU misalnya dengan memberikan
pengajian kefiqhan dan debat ilmiah secara terbuka. Namun, upaya ini harus
dilakukan secara merata dan menyeluruh di setiap tingkatan dan daerah NU. Tentu
saja hal ini membutuhkan tidak hanya keilmuan semata, tetapi juga motivasi dan
keberanian yang tinggi tanpa mengancam ukhuwah dan tanpa meninggalkan
prinsip-prinsip aswaja.
13.
Perbaikan akhlaq dan pergaulan di kalangan pelajar dan kaum muda NU.
Ketika
era semakin berkembang pesat, tidak hanya teknologi saja yang mengglobal,
tetapi juga karakteristik berpikir dan budaya dari tempat asal tekonologi
tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya gerusan budaya local dan local wisdom
Indonesia yang banyak sesuai dengan prinsip aswaja. Pada akhirnya, etika
bersikap dan bergaul akan semakin menipis dan pudar. Fenomena seperti ini
merupakan fenomena yang sangat ironis mengingat NU tidak hanya bergerak di
bidang pendidikan dan keagamaan saja tetapi juga bergerak di bidang akhlaq dan
etika. Banyak para kaum muda dan pelajar NU di berbagai daerah yang kehilangan
etika dan mencerminkan rendahnya akhlaq yang disebabkan oleh gaya hidup yang
semakin modern. Fenomena semacam ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari
NU, terutama kalangan struktural NU. Pondok yang tersebar luas dan merata di berbagai
pedesaan perlu dimaksimalkan lagi untuk memberikan perannya di dalam
memperbaiki akhlaq masyarakat. Peran kyai juga lebih ditonjolkan lagi mengingat
karakter kyai yang tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga bijak dan berakhlaq
mulia yang harus dijadikan tauladan di setiap daerah. Oleh karena itu,
diperlukan peran aktif dari para kyai dan santri untuk tetap mempertahankan
etika dan akhlaq yang mulia di tengah arus globalisasi ini. Selain itu, saya
pernah menemui karakter santri yang “memudahkan” (jawa : nggampangke) ibadah
dengan dalil Alloh Maha Tahu. Hal ini kurang bijak jika dilakukan oleh santri
yang notabene merupakan kalangan yang tidak hanya tahu tetapi juga paham
mengenai keagamaan dan ibadah (meskipun tidak bijak juga jika dilakukan oleh
orang biasa non santri). Mengetahui dan memahami secara mendalam seharusnya
lebih membuat diri seorang santri semakin rajin dan tidaknggampangke masalah
keagamaan dan ibadah. Apalagi santri menjadi role model kaum terpelajar dan harus
bisa menjadi contoh bagi masyarakat.
14.
NU harus mengelola kegiatan-kegiatan dengan baik di setiap tingkatan.
Sebagai
sebuah organisasi yang besar, NU membutuhkan orang-orang dengan skill manajemen
organisasi yang tinggi. Tidak hanya dibutuhkan di dalam merapikan dan
menyolidkan jajaran struktural NU, tetapi juga untuk mengelola kegiatan dan
program kerja dengan baik. Kegiatan yang merupakan realisasi program kerja
harus dikelola oleh NU dengan baik agar kegaiatan tersebut terkendali dan
terarah sehingga efek positif dapat dirasakan oleh semua kalangan yang
membutuhkan. Pada setiap kegiatan dan organisasi, juga dibutuhkan tingkat
koordinasi dan komunikasi yang tinggi, apalagi pada organisasi sebesar NU.
Kegaiatan-kegiatan yang diadakan juga harus dikoordinasikan dan dikomunikasikan
tidak hanya dengan struktural NU setempat, tetapi juga dengan struktural NU
yang lebih tinggi. Hal ini bukan hanya sekedar bentuk pertanggungjawaban kepada
struktural NU yang lebih tinggi, tetapi juga memungkinkan pengawasan dari struktural
NU yang lebih tinggi sehingga kegiatan yang diadakan akan semakin berkualitas.
Jika koordinasi kurang, maka jajaran struktural NU yang lebih tinggi akan tidak
mengetahui struktural NU yang lebih rendah mana saja yang program kerjanya
terlaksana dengan baik dan struktural NU yang lebih rendah mana saja yang
program kerjanya tidak terlaksana, sehingga jajaran struktural NU yang lebih
tinggi harus menegur dan mengetahui permasalahan yang terjadi yang menyebabkan
program kerja dapat terlaksana dengan baik dan tidak terlaksana. Di sinilah
peran struktural NU yang lebih tinggi tersebut untuk membantu jajaran struktural
NU yang lebih rendah di dalam kegiatan salah satunya, sehingga
kegiatan-kegaiatan NU akan berkualitas dan NU tidak akan diklaim sebagai The Silence Majority.
Selain itu, jangan sampai juga organisasi sebesar NU memiliki orsi kegiatan
yang berefek pada diri sendiri lebih besar daripada kegiatan yang berefek pada
masyarakat luas. Jangan sampai juga terlena atas keberhasilan masa lalu yang
akan membuat warga NU sekarang membanggakan nenek moyangnya dan tidak lagi
berkarya.
15.
Membangkitkan semangat untuk senantiasa memperkokoh NU.
Semangat
dan motivasi diperlukan untuk setiap sesuatu yang membutuhkan perjuangan di
dalam mencapai goal
(tujuan). Semangat di dalam mempertahankan NU dapat dilakuakn
dengan berbagai cara sesuai kadar kemampuan masing-masing warga NU. Yang jelas,
jangan sampai organisasi sebesar NU kehilangan semangat terutama semangat
memperkokoh NU dan semangat senantiasa berjuang untuk kemashlahatan ummat.
Semangat ini bisa dibangun dengan berbagai macam cara. Misalnya dengan membaca
buku-buku keNUan yang berisi profil para tokoh NU dan keberhasilan-keberhasilan
NU sehingga memotivasi untuk selalu berkarya lewat NU. Selain itu, peka
terhadap realitas juga akan menimbulkan semangat dan motivasi, seperti misalnya
melihat realitas bahwa aswaja dan NU semakin tergerus oleh kalangan
radikalis—puritan yang gigih menyuarakan visi dan misinya memurnikan agama
Islam serta mengkafirkan ummat Islam yang tidak sepandangan dengan mereka,
melihat realitas bahwa ternyata masalah kebodohan, keterbelakangan,
kesejahteraan, pendidikan, akhlaq, ekonomi, dan sebagainya masih menjadi
masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Semangat
dan motivasi keNUan juga dapat ditumbuhkan ketika pelatihan kader dan
reorganisasi yang disisipkan di setiap materi yang diberikan. Namun,
menimbulkan semangat dan motivasi tanpa menjaganya merupakan tindakan yang
kurang berkualitas sehingga menjaga motivasi dan semangat juga merupakan suatu
hal yang tidak kalah penting dari memunculkan semangat dan motivasi itu
sendiri.
16.
Mengadakan relasi dengan penerbit ternama untuk menerbitkan buku-buku keNUan.
Relasi
dengan penerbit terutama penerbit yang bonafide
dan ternama merupakan sebuah langkah penting di dalam mempublikasikan dan
mendistribusikan pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan karya-karya warga
NU. Terutama sekarang NU dihadapkan dengan pertarungan media dengan kaum
radikalis—puritan yang mendominasi media, terutama buku dan penerbit. Penerbit
yang menjadi relasi juga jangan sampai hanya memikirkan untung—rugi, tetapi
juga mempertimbangkan pengorbanan terhadap NU sehingga personal approach
dibutuhkan di dalam hal ini. Sehingga, buku-buku keNUan, ke-aswaja-an, dan kemadzhaban
Syafi’i dapat diterbitkan secara luas dan merata serta dicetak berulang
kali.
17.
Perkuat aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan madzhab Syafi’iyyah.
Tidak
semua kalangan santri atau warga Indonesia yang memiliki amaliyyah-amaliyyah
seperti NU bersedia diafiliasikan dengan NU karena NU merupakan organisasi,
sedangkan amaliyyah-amaliyyah tersebut tidak terikat organisasi, tetapi terikat
oleh madzhab. Sehingga kalangan madzhab secara umum dan kalangan Syafi’iyyah
secara khusus, yang tidak tergabung ke dalam NU, juga perlu memperkuat aqidah
ahlussunnah wal jama’ah dan pengetahuan tentang kemadzhaban sehingga tidak
mudah terpengaruh dan memiliki benteng pertahanan yang kuat dari serangan
kalangan radikalis—puritan.
Dibutuhkan
ijin dari Alloh SWT, doa dari ummat, dan upaya dari seluruh Aswaja dan NU di
Indonesia untuk teap melestarikan amaliyyah-amaliyyah Aswaja dan madzhab yang
berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Insya Alloh, dengan itu semua, semoga NU,
Ahlussunnah wal Jama’ah, dan madzhab (terutama madzhab Syafi’i) akan terus
bercahaya dan menancap kuat di hati, pikiran, dan sikap para warganya yang
setia. Jangan sampai kebathilan yang terorganisir dapat mengalahkan kebenaran
dan kebaikan yang tidak terorganisir. Bravo NU!! Bravo IPNU!! Bravo Aswaja!!
Bravo Syafi’iyyah!! Allâhu Akbar!!
Selamat
Berjuang, Belajar dan Bertaqwa
Wallahul
Muwaffiq ilaa Aqwamitthariiq.