Oleh : Ahmad Syauqi (Ketua Umum PP IPNU)
Proyeksi masa depan bangsa secara eksplisit tergambar
dari tinggi-rendahnya kualitas pelajar. Tesis ini jamak diyakini dan terus
didengungkan selama berabad-abad oleh hampir semua generasi di muka bumi. Pelajar
sebagai kaum muda cendekia merupakan pewaris sejarah sekaligus cermin
miniatural peradaban. Betapa tidak! Hasil dari proses belajar, tak hanya dalam
arti definitif di bangku pendidikan formal, tetapi juga dalam arti luas berupa
proses belajar dari pengalaman hidup, menjadi sandaran utama bagi tindaklanjut
pembangunan bangsa (mental maupun fisik). Sebab siapa lagi yang akan meneruskan
tahapan cita bangsa, jika bukan para kaum muda cendekia!
Karenanya, sumberdaya manusia para pelajar menjadi standar
utama menilai sejauhmana kemajuan bangsa. Jika sumberdaya manusianya rendah,
masa depan bangsa dalam kondisi terancam. Sebaliknya, jika kualitas
sumberdayanya tinggi, maka masa depan bangsa dipastikan akan mengalami
pencerahan. Inilah tanggungjawab besar yang musti diemban, bukan hanya oleh
para generasi senior dalam mempersiapkan piranti bagi para juniornya, melainkan
para pelajar sendiri.
Pelajar dituntut memperkaya diri dengan kelengkapan perangkat
(complete tools) di tengah fluktuasi
kehidupan yang serba rumit. Pelajar musti selalu menempa diri dengan
pengalaman, keilmuan dan sikap mental kokoh agar menjadi “generasi paripurna” (Asy Syubban Al Kaafi). Sebuah generasi
yang mampu menjawab pelbagai problem dengan tawaran konsep dan formula baru sesuai
dengan konteks zamannya (zeitgeist).
Dalam situasi demikian, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) sebagai representasi organisasi pelajar mempunyai tanggungjawab besar memerankan
diri menjadi ruang aktualisasi dan tempat dinamika proses menuju terciptanya
generasi paripurna. Hal ini tentu tak semudah membalik telapak tangan. Terlampau
banyak halang rintang yang musti hadapi dan diselesaikan, baik problem internal
organisatoris maupun permasalahan kepelajaran secara umum.
Sebagai organisasi kader NU, IPNU tentu berada di garda
depan proses kaderisasi. Namun tak ayal, separuh abad lebih eksistensi IPNU di tengah
dinamika organisasi kepelajaran dan kepemudaan disatu sisi dan berada di lingkup
jam’iyah NU di sisi lainnya, ia tengah mengalami dilema.
Pertama, tak tercukupinya diaspora pluralitas potensi
kader dalam wadah organisasi. Musti diakui bahwa sesungguhnya pelajar NU mempunyai
kekayaan potensi berlimpah. Namun karena kelemahan manajemen kaderisasi, maka
tak sedikit dari mereka yang belum terwadahi di dalam struktural organisasi.
Pada saat bersamaan, kerap terjadi kesenjangan antara IPNU dengan organisasi
induknya: NU. Fenomena dibeberapa cabang dan wilayah kerap muncul kesalahpahaman
antara keduanya.
Kedua, minimnya kreasi dan format gerakan. IPNU masih
kerap terstigma sebagai organisasi pelajar “sarungan” yang kurang begitu laku
dihadapan para pelajar NU yang notabene berada di sekolah favorit. Di sini,
strategi dinamisasi program dan agenda kontekstual dengan kepeminatan pelajar
dan remaja harus kian diperkaya agar menyentuh keseluruhan kader, tidak melulu
pelajar di madrasah, melainkan juga pelajar di sekolah-sekolah umum.
Ketiga, yang tak kalah pentingnya, IPNU dihadapkan pada
simalakama antara idealisme
IPNU dengan realitas politik yang
melingkupinya. Dalam perjalanannya, idealitas peningkatan sumberdaya kader Nahdliyin sebagai
ruh pendirian IPNU hampir
selalu berada dalam satu tarikan nafas politik yang melingkupinya. Tarik-menarik antara idealitas IPNU sebagai
organisasi kekaderan NU, dalam
maknanya yang luas, dengan
kecenderungan berpolitik praktis (baca: insting politik) elit-elit IPNU di
tingkat lokal, regional, maupun nasional terus berlangsung sejak awal berdirinya hingga saat
ini. Bahkan, pasca 1998, setelah
PBNU menfasilitasi pendirian PKB, diakui atau tidak, konsentrasi kader IPNU
juga banyak yang tersedot ke ranah politik praktis. Pada helat Pemilu beberapa
waktu lalu misalnya, tak sedikit kader IPNU yang secara “agak genit”
mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg). Bukan berarti bahwa
politik selalu bermakna negatif, namun kecenderungan politis ini, diakui atau
tidak, mengganggu konsentrasi kaderisasi. Paling tidak, ia melahirkan implikasi
ganda. Di satu sisi, terjadi stagnasi organisasi. langkah-langkah reorientasi
organisasi tetap berjalan, tetapi hanya bersifat simbolik dan superfisial, belum
menyentuh kedalam substansinya. Di sisi lain, sebagai
salah satu akibat menguatnya insting politik tersebut, program dan aktifitas
IPNU lebih mencerminkan kebutuhan struktural daripada kebutuhan kelompok
sasaran (target group). Tentu masih banyak tantangan
IPNU yang semestinya mendorong para kadernya untuk segera berbenah, baik secara
organisatoris maupun individual.
Selanjutnya, IPNU juga diperhadapkan pada masalah kepemudaan
dan pelajar secara umum. Kita dapat membayangkan betapa kompleks persoalan
pemuda yang harus direspon dan disikapi oleh IPNU. Membuat tabulasi betapa
kompleksitas persoalan pelajar dan pemuda di tanah air, kiranya tak cukup dalam
satu-dua jilid buku. Mari berhitung! Mulai dari maraknya kekerasan pelajar
(tawuran), pergaulan bebas, pemakaian narkoba, dan masih banyak lainnya.
Kesemuanya merupakan bentuk dari krisis eksistensi. Krisis eksistensi bukan
persoalan sepele. Ia dapat terekspresikan dalam beragam bentuk penyimpangan
perilaku.
Nah, celah inilah yang lantas dimanfaatkan oleh kaum
radikalis Islam untuk merekrut mereka menjadi “pengantin” aksi-aksi terorisme.
Perembesan ideologi radikal di tengah kaum pelajar ini tentu tak berbanding
lurus dengan orientasi pembelajaran dan penataan pola pikir, perilaku dan sikap
mental. Fenomena ini juga menjadi “pekerjaan rumah” bagi IPNU untuk menyadarkan
mereka dengan pelbagai program konstruktif yang ada.
Organisasi Pembelajar dan
Adaptasi Global
Serangkaian problem diatas
akan mampu diatasi jika IPNU mampu memposisikan diri
sebagai organisasi pembelajar (learning organization). Konsep organisasi
pembelajar (OP) dipopulerkan oleh Peter Senge (1995) dalam the fifth dicipline.
Organisasi pembelajar
merepresentasi karakteristik
yang kuat pada setiap
anggota organisasi. Dalam organisasi pembelajar, yang diperlukan bukan hanya
menghasilkan produk, tapi juga melakukan peningkatan dan terobosan-terobosan. Disini dibutuhkan pemahaman utuh tentang makna
“pembelajaran”.
Secara substansial, pembelajaran pada intinya adalah menjadikan manusia menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita dapat melakukan
sesuatu yang tidak pernah dapat kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran
kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui
pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian
dari proses pembentukan kehidupan.
Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pesan moral yang terkandung dalam salam
kebanggaan warga IPNU, "Belajar,
Berjuang, Bertaqwa". Bukankah dengan hal itu seorang manusia akan
benar-benar menjadi manusiawi (humanis)? Dan bukankah salah satu raison d'tre IPNU adalah
untuk mengisi "ruang kosong" system pendidikan, baik system
pendidikan "sekular"
(baca:sekolah umum) maupun agamis (baca: pesantren)?
Dalam perspektif
inilah sebenarnya reorentasi dan reposisi itu harus dipahami. Artinya, ke
depan, IPNU harus bisa mengisi "ruang kosong sistem pendidikan yang
semakin kapitalistik dan cenderung menjadikan peserta didik menjadi
"robot-robot" yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar.
IPNU juga harus mampu mengeliminir problem
rendahnya relevansi dan alienasi sekolah (baca: pendidikan) dari kehidupan
nyata. Salah satunya dilakukan dengan memposisikan diri menjadi pusat
pembelajaran allternatif di tengah fenomena komersialisasi pendidikan yang
semakin mempersempit kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk
mendapatkan pendidikan yang layak.
Dalam konteks kekinian, reposisi dan reorientasi
itu setidaknya harus
didasarkan pada pembacaan terhadap tiga konteks makro berikut: pertama,
tahun 2010 menjadi titik awal dari liberalisasi pasar di
tingkat asia pasifik
yang ditandai dengan diberlakunya ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Dengan diberlakunya ACFTA, tingkat kompetisi (competitiveness) di
pasar kerja tingkat asia pasifik pun akan semakin ketat. Hanya individu yang
mempunyai kualitas sumberdaya manusia (SDM) unggul yang akan memenangkan
persaingan di pasar kerja tersebut.
Kedua, menghadapi
situasi tersebut, sangat memprihatinkan tatkala kita menyaksikan bahwa hasil
penelitian United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan
indeks pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI) Indonesia
pada tahun 2009
masih berada diurutan ke-110 dari 173 negara yang diteliti. Dibandingkan dengan
Negara-negara ASEAN lainnya, posisi Indonesia
jauh di bawah Filipina (peringkat ke-77), Thailand
(peringkat ke-70), Malaysia
(peringkat ke-59), Brunei.
Darussalam (peringkat ke-32) dan singapura (peringkat ke-25). Yang harus
dicatat, salah satu indikator HDI adalah tingkat pendidikan penduduknya.
Ketiga, perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (Information And Communication Technology)
menyebabkan semakin mudah dan akses informasi melalui berbagai media, baik
cetak maupun elektronik (radio, televisi,
VCD, internet). Hal ini berdampak pada menipisnya batas-batas kultural antar negara
yang memunculkan sebuah "dunia tanpa batas" (Borderless Wold).
Invasi kultural yang datang dari berbagai penjuru dunia, dalam beberapa atau
banyak hal, tidak sesuai dengan kultur Nahdliyin.
Di sinilah skenario "jalan alternatif" menemukan
relevansi dan urgensinya. Dunia berubah dengan cepat, tetapi sebagai
organisasi, IPNU sangat lamban belajar (too slow), sangat sedikit
belajar (too little), dan sangat terlambat belajar (too late).
Selama beberapa dekade, IPNU sangat jarang melahirkan inovasi-inovasi yang mampu menjawab
tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan kelompok sasarannya.
Formulasi Strategis
Nyatalah bahwa menjadikan IPNU sebagai organisasi
pembelajar untuk menciptakan hadirnya masyarakat pembelajar (learning society) merupakan sebuah
keniscayaan. Untuk itu, IPNU paling tidak harus mempunyai formula yang mampu
mendorong diri sebagai wadah terciptanya kader paripurna dari kawah
candradimuka organisasi pembelajar. Terdapat minimal lima formulasi strategis
yang semestinya dijadikan acuan bagi perjalanan IPNU hingga tiga tahun kedepan.
Pertama, Penataan kelembagaan. Hal ini
merupakan faktor kunci dalam penciptaan sinergi antara berbagai pelaku di
internal organisasi. Selama ini, masih terdapat kesenjangan antara berbagai
level yang menunjukkan tidak adanya standar sistem rekrutmen yang berakibat pada lemahnya control
terhadap jalannya organisasi.
Kedua, Pengembangan Sistem kaderisasi. Harus diakui,
selama satu setengah dekade terakhir kaderisasi yang dilaksanakan cenderung
didesain sebagai strategi survival organisasi. Sebagai akibatnya, sistem kaderisasi yang
dikembangkan tidak bisa menciptakan kritisisme dan kepekaan kader terhadap
lingkungan sosial yang dihadapinya. Sebagai jawaban atas adanya kecenderungan
untuk semakin bersikap rasional dan kritis, pengembangan sistem kaderisasi ke depan harus
dilakukan untuk menjawab tuntutan tersebut.
Ketiga, Penciptaan Forum-forum
pembelajaran Alternatif. Kebijakan Pendidikan nasional telah menyebabkan terjadinya
proses dehumanisasi. Sistem pendidikan nasional telah menciptakan keterasingan
peserta didik dari kehidupan nyata. Pendidikan yang semestinya berorientasi pada
pengembangan nalar peserta didik dan pembentukan karakter telah berubah menjadi
pembentukan manusia-manusia mekanik.
Keempat, Demokratisasi sistem pendidikan, kebijakan
pendidikan selama ini hanya menjadikan peserta didik sebagai objek pendidikan
yang tidak diberi kebebasan dan ruang partisipasi dalam menentukan pilihan yang
terbaik bagi diri sendiri. Salah satu wujud paling aktual adalah diberlakukannya
aturan penyeragaman organisasi kepelajaran di tingkat sekolah yang tidak menghargai pluralitas
latar belakang peserta didik.
Kelima, Pengembangan pola penggalian
dana dan pengelolaannya agar dapat menjamin pembiayaan program organisasi yang
memenuhi prinsip-prinsip Transparansi dan Akuntabilitas.
Pada akhirnya, tawaran konstruksi ide dan desain konseptual
ini kiranya dapat menjadi sepercik air dingin yang mampu menghilangkan dahaga
kita bersama di tengah kegersangan realitas sosial, agama, ekonomi dan politik
yang kita hadapi saat ini. Kami berharap secuil gagasan ini dapat menggugah
kesadaran kita, para kader pembelajar, agar mampu memajukan NU, bangsa dan
agama, sesuai dengan semboyan organisasi yang kita cintai ini: “Belajar, Berjuang, dan Bertaqwa”. Wallahul Muawffiq ilaa Aqwamitthariq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar